JAKARTA – Rupiah harus puas terdampar di teritori negatif pada perdagangan Selasa (7/6) sore setelah imbal hasil obligasi as terpantau mengalami kenaikan tajam sehingga mendukung pergerakan dolar AS. Menurut laporan Bloomberg Index pada pukul 14.59 WIB, mata uang Garuda ditutup melemah 8 poin atau 0,06% ke level Rp14.454 per dolar AS.
Mirip rupiah, mayoritas mata uang di kawasan Benua Asia juga terpantau tidak berdaya menghadapi greenback. Yen Jepang menjadi yang paling terpuruk setelah anjlok 0,58%, diikuti ringgit Malaysia yang turun 0,21%, won Korea Selatan yang terdepresiasi 0,2%, dolar Singapura yang melemah 0,17%, dan baht thailand yang terkoreksi 0,12%.
“Rupiah akan bergerak melemah pada hari ini karena imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 10 tahun melonjak lebih dari 3%,” ujar analis DCFX, Lukman Leong, pagi tadi seperti dikutip dari CNN Indonesia. “Namun, rilis data cadangan devisa Indonesia yang diperkirakan naik 2 miliar dolar AS akan dapat menopang pergerakan rupiah.”
Sementara itu, dari pasar global, indeks dolar AS terus melanjutkan reli pada hari Selasa sekaligus menuju posisi tertinggi dua dekade melawan yen Jepang, karena kekhawatiran yang terus-menerus akan laju inflasi mendorong imbal hasil obligasi AS. Mata uang Paman Sam terpantau menguat 0,233 poin atau 0,23% ke level 102,667 pada pukul 14.53 WIB, serta naik tipis terhadap euro dan pound sterling.
Seperti dilansir dari Reuters, kenaikan imbal hasil Treasury AS tenor 10 tahun mencapai 3,05% untuk pertama kalinya dalam hampir empat minggu. Sebaliknya, imbal hasil Jepang yang setara disematkan mendekati nol oleh kebijakan kontrol kurva imbal hasil Bank of Japan, dengan gubernur Bank Sentral Jepang, Haruhiko Kuroda, menegaskan kembali komitmen yang teguh terhadap stimulus moneter kuat.
“Kami menganggap yen Jepang akan terus diuntungkan dari arus safe haven selama neraca berjalan Jepang tetap surplus,” tulis ahli strategi CBA, Carol Kong, dalam sebuah catatan kepada klien. “Dengan demikian, kami tidak mengantisipasi pengulangan apresiasi cepat dolar AS terhadap yen yang terlihat pada bulan Maret dan April, dan sebaliknya mengharapkan dolar AS untuk berkonsolidasi di dekat level puncak baru-baru ini.”
Data pekerjaan AS yang kuat pada akhir pekan lalu telah memicu spekulasi bahwa tekanan harga naik akan bertahan lebih lama, berpotensi memaksa tindakan yang lebih agresif dari federal Reserve. Indeks harga konsumen yang akan dirilis Jumat (10/6) mendatang akan memberikan lebih banyak petunjuk tentang jalur kenaikan suku bunga The Fed, menjelang keputusan kebijakan minggu depan.