UU Obligasi Terbit, Independensi Bank Indonesia Diragukan

Gedung Bank Indonesia - (epicentrum.co.id)
Gedung Bank Indonesia - (epicentrum.co.id)

JAKARTA – Undang-undang baru-baru ini yang mengizinkan Bank Indonesia untuk membeli obligasi langsung dari pemerintah dalam suatu krisis menimbulkan kekhawatiran tentang dampak yang dapat ditimbulkannya terhadap kemandirian bank sentral dan disiplin fiskal. Kekhawatiran muncul karena pemerintah dinilai dapat secara sewenang-wenang menyatakan krisis untuk memonetisasi utang.

Seperti dilansir dari Nikkei Asia, RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan disahkan pada Desember 2022 yang secara permanen menjadi undang-undang tindakan darurat yang diambil pada 2020 saat Indonesia bergulat dengan pandemi Covid-19. Perundang- tersebut bertujuan untuk memberikan fleksibilitas kepada Bank Indonesia dan pemerintah untuk berkoordinasi dalam kebijakan jika ekonomi tiba-tiba berubah menjadi lebih buruk.

Bacaan Lainnya

Undang-undang membatasi pembelian obligasi pada situasi krisis dalam upaya mencegah monetisasi utang, dengan bank sentral mencetak uang untuk membeli obligasi yang diterbitkan untuk menutupi defisit. Meski demikian, ada kekhawatiran bahwa suatu pemerintahan dapat secara sewenang-wenang meminta bank sentral untuk memungkinkan pengeluaran yang sembrono, terutama karena undang-undang tersebut mengizinkan untuk menentukan ‘apa yang merupakan krisis’.

Selama kurang lebih tiga terakhir, atau ketika pandemi Covid-19 melanda, Bank Indonesia diizinkan untuk membeli obligasi pemerintah di pasar perdana untuk mendanai langkah-langkah darurat. Pemerintah juga menangguhkan aturan yang membatasi defisit fiskal hingga 3% dari produk domestik bruto (PDB).

Selain memungkinkan untuk langsung membeli obligasi pemerintah jangka panjang di pasar perdana, bank sentral juga dapat membeli surat berharga yang dipegang bank maupun lembaga penjaminan simpanan. Aturan baru tersebut diharapkan mampu mengurai regulasi yang ada, termasuk untuk payung bagi ledakan fintech hingga jalan bagi rupiah digital, demikian seperti dikutip dari Bloomberg.

Direktur Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira, yang berbasis di Jakarta, memperingatkan risiko ‘moral hazard’ yang ditimbulkan oleh undang-undang tersebut. Ia melihat bahwa disiplin fiskal dapat terganggu jika pemerintah melihat bank sentral selalu tersedia untuk membeli obligasi ketika defisit tinggi.

Meski demikian, Menteri Keuangan, Indrawati, seperti dilansir dari VOA Indonesia, mengatakan bahwa aturan tersebut malah akan memperkuat independensi Bank Indonesia dan regulator lainnya. Ia menegaskan bahwa itu tidak akan mengganggu pengambilan yang dilakukan oleh bank sentral negara. “Jadi, ini adalah kemajuan dalam hal independensi profesional dewan gubernur,” tutur dia.

Sementara itu, Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menilai bahwa tidak masalah jika narasinya (Bank Indonesia) menjaga stabilitas sistem keuangan untuk mendukung pertumbuhan (ekonomi). Karena program pembelian obligasi Bank Indonesia akan tetap dibatasi pada kondisi tertentu, menurut dia pasar seharusnya tidak bereaksi negatif terhadap aturan tersebut.

Perekonomian Indonesia sendiri sempat menyusut untuk pertama kalinya dalam 22 pada tahun 2020 imbas wabah virus corona, tetapi sejak itu telah pulih, sebagian karena reli di pasar komoditas yang telah mendorong harga ekspor. Pemerintah mengharapkan pertumbuhan sekitar 5% untuk tahun 2022, dan memulihkan batas defisit untuk tahun 2023.

Pos terkait