VIENTIANE – Laos adalah salah satu negara di Asia Tenggara yang ‘menerima bantuan’ dari China di bawah skema Belt and Road Initiative, termasuk pembangunan jalur kereta api yang menghubungkan antara Negeri Panda dengan ASEAN. Namun, terlepas dari hype kereta api dan juga bangkitnya kota kasino, ada tanda-tanda manfaat ekonomi tidak sesuai harapan, ketika utang luar negeri terus menumpuk.
Seperti dilansir dari Nikkei Asia, Boten adalah salah satu kota di Laos yang telah sangat berubah akibat Belt and Road Initiative China sehingga yuan sekarang menjadi mata uang perdagangan utamanya. Bahkan perusahaan utilitas mengharapkan pembayaran dalam yuan, membuat mata uang lokal, kip, hampir seperti barang usang.
Yuan bukan satu-satunya ciri khas China di kota itu, tetapi juga semakin banyak dihuni oleh orang dari seberang perbatasan yang berharap mendapat manfaat dari proyek pembangunan besar-besaran di bawah Belt and Road Initiative. Boten sekarang memiliki sekelompok gedung pencakar langit dengan tinggi lebih dari 100 meter, jenis bangunan yang hampir tidak terlihat, bahkan di ibu kota negara, Vientiane.
Sebenarnya, hubungan antara Boten dan China tidak selalu berjalan baik. Pada tahun 2000-an, industri kasino kota berkembang pesat seiring kedatangan pelanggan dari Negeri Tirai Bambu, tempat perjudian dilarang. Namun, Beijing segera menekan Vientiane untuk menekan kasino Boten, yang menyebabkan stagnasi ekonomi selama bertahun-tahun.
Nasib kota lantas berubah setelah pembangunan jalur kereta api antara China dan Laos dimulai pada tahun 2016 di bawah Belt and Road Initiative, ketika Boten dipilih sebagai stasiun. Lebih dari 200 perusahaan China berencana untuk memperluas ke zona ekonomi khusus di kota tersebut dan ledakan investasi ini diperkirakan akan menghasilkan peningkatan populasinya.
“Kota ini memiliki potensi besar meski tanpa kasino,” kata Siphone Kongchampa, kepala zona ekonomi khusus, yang diperkirakan akan diperluas hingga 1.640 hektar untuk menampung bisnis, termasuk layanan keuangan dan perawatan kesehatan. “Namun, nasib kota terletak pada belas kasihan China, dan kepentingan investor akan mendikte agenda untuk Boten.”
Jalur kereta China-Laos sepanjang 1.000 km dibuka pada Desember 2021, dimulai dari Kunming, ibu kota Provinsi Yunnan, melewati Laos hingga Vientiane. Selain kereta penumpang yang melaju dengan kecepatan maksimal 160 km per jam, layanan kargo kereta api internasional juga tersedia di jalur ini, yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi transportasi yang selama ini didominasi angkutan truk. Pada bulan Oktober lalu, jalur tersebut terhubung ke jaringan kereta api di Thailand dan Malaysia, dan direncanakan diperluas ke Singapura.
Media pemerintah di China dan Laos telah mengumandangkan keuntungan ekonomi dari jalur kereta api, yang disebut-sebut sebagai layanan berkecepatan tinggi pertama di Asia Tenggara. Lebih dari 640 ribu ton kargo diangkut dalam enam bulan pertama operasi. Sementara operasi antara China dan Laos telah ditangguhkan karena strategi nol-COVID Beijing, layanan penumpang diklaim membawa 410 ribu orang di Laos saja.
Namun, terlepas dari semua hype tentang jalur kereta api, ada tanda-tanda bahwa manfaat ekonomi tidak sesuai dengan harapan. Meskipun tidak ada angka yang dirilis, seorang pejabat Nikkei pada bulan September lalu mengatakan, rata-rata hanya ada dua perjalanan per hari antara Kunming dan Vientiane dan hanya sekitar 6 ribu kontainer yang ditangani pada bulan Agustus.
Faktor utama di balik kinerja yang mengecewakan jelas adalah kebijakan zero-COVID pemerintah China, yang ditandai dengan penguncian, pengujian massal, pemindaian kode kesehatan yang ketat, dan pembatasan perjalanan. Faktor lain yang membatasi permintaan untuk layanan kargo adalah kurangnya transparansi dalam biaya, yang memungkinkan para pialang memberlakukan biaya tinggi, sehingga mematikan banyak pemilik kargo.
Untuk Laos, taruhannya lebih tinggi lagi. Jalur rel dibangun oleh perusahaan patungan antara Otoritas Kereta Api Nasional Laos dan tiga perusahaan China. Pinjaman dari Bank Ekspor-Impor China membiayai sekitar 3,5 miliar dolar AS, hampir 60% dari total biaya konstruksi. Pemerintah Laos mengklaim tidak akan menanggung utang besar dari proyek tersebut karena tidak memberikan jaminan pinjaman apa pun. Namun, pemerintah tidak dapat membiarkan perusahaan kereta api mereka bangkrut karena ambisinya untuk menggunakan jalur tersebut.
Akibatnya, menurut Kenichiro Yamada, perwakilan dari kantor Organisasi Perdagangan Eksternal Jepang di Vientiane, pemerintah Laos kemungkinan akan menimbulkan kewajiban kontinjensi atau kewajiban yang mungkin terjadi, tergantung pada hasil dari peristiwa masa depan yang tidak pasti. Total utang publik Laos sudah setara dengan 88% dari produk pdb negara pada akhir tahun 2021, menurut data World Bank dan organisasi lainnya. Utang luar negeri negara itu mencapai sekitar 10,4 miliar dolar AS, dengan sekitar setengahnya berutang ke China.
Seperti banyak negara lainnya, ekonomi Laos terpukul parah oleh pandemi. Selain meningkatnya inflasi dan melemahnya kurs mata uang, lemahnya permintaan kargo kereta api meningkatkan kekhawatiran tentang krisis utang bagi salah satu negara terbelakang di Asia Tenggara itu. Beberapa analis memperkirakan pemerintah akan menjual aset penting karena sudah menggunakan pendapatan dari tambang logam langka sebagai jaminan pembiayaan bisnis perkeretaapian.
“China pada akhirnya dapat mengendalikan seluruh saham usaha patungan (kereta) tersebut,” ujar Toru Nishihama, kepala ekonom di Dai-ichi Life Research Institute. “China mungkin juga dapat memindahkan kereta dengan bebas untuk tujuannya sendiri, termasuk untuk penggunaan militer.”