JAKARTA – Selama menjabat sebagai orang nomor satu di Indonesia, Joko Widodo memang berfokus untuk mengatasi pertumbuhan ekonomi yang lesu. Ia getol membangun infrastruktur, mulai dari jalan hingga pelabuhan, bandara, dan jembatan. Mantan Gubernur DKI Jakarta ini juga rajin menarik investasi asing dan mengampanyekan hilirisasi industri. Namun, menurut sejumlah pengamat, masih banyak urusan yang belum diselesaikan pria yang akrab disapa Presiden Jokowi itu, termasuk mengembangkan sumber daya manusia. Apakah ini sinyal bahwa dia akan menjabat untuk periode ketiga?
Seperti dilansir dari Nikkei Asia, sebelum menjadi presiden, Jokowi awalnya adalah seorang pengusaha furniture yang sukses. Dia tidak memiliki dinasti politik untuk dijadikan sandaran, juga tidak memiliki kekuatan militer untuk mendukungnya. Namun, itu membantunya berhubungan dengan orang-orang biasa, yang percaya bahwa mereka biasanya tertinggal dalam politik yang dijalankan oleh para elit.
Meski demikian, kemampuan Jokowi untuk memikat rakyat diuji, ketika ia mencoba tindakan penyeimbangan yang sulit dalam upaya memastikan pertumbuhan ekonomi. Di satu sisi, dia harus menyenangkan publik, sumber legitimasi dan kekuatan politiknya. Di sisi lain, ia juga perlu merayu investor dan pelaku bisnis yang menjadi kunci perkembangan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Dalam suatu wawancara dengan Nikkei, dia menguraikan tiga kebijakan utama yang menjadi fokusnya sebagai presiden, yakni membangun infrastruktur, memperluas industri manufaktur dan nilai tambah, dan berinvestasi dalam sumber daya manusia. Dengan adanya ketiga hal tersebut, menurut Jokowi, PDB (produk domestik bruto) Indonesia pada tahun 2030 akan menjadi tiga kali lipat dari sekarang.
Membangun infrastruktur telah menjadi ciri khas kepresidenan Jokowi. Dalam enam tahun pertama menjabat, 6.240 km jalan dibangun, bersama dengan 15 bandara baru dan 124 pelabuhan laut baru. Indonesia memang menderita masalah infrastruktur kronis, sehingga biaya logistik mencapai lebih dari 20% dari PDB. Infrastruktur yang lebih baik diharapkan dapat memangkas biaya tersebut dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Namun, semua proyek infrastruktur lainnya tidak ada artinya dibandingkan dengan Nusantara, ibu kota baru senilai 30 miliar dolar AS di Kalimantan, yang menurut Jokowi diperlukan untuk menyebarkan pertumbuhan ekonomi di luar Pulau Jawa yang paling padat penduduknya. Jawa saat ini menyumbang hampir 60% dari PDB negara. “Kita punya 17.000 pulau dan kita perlu membagi (pertumbuhan ekonomi) ke pulau-pulau lain,” katanya.
Prioritas lainnya adalah hilirisasi industri, yakni beralih ke pemrosesan dan manufaktur daripada hanya menghasilkan bahan mentah. Ini sedang diupayakan melalui undang-undang yang secara de facto melarang ekspor mineral yang belum diproses, termasuk nikel, timah, bauksit, emas dan tembaga, untuk mendorong perusahaan asing agar membangun pengolahan dan manufaktur di Indonesia. Ekspor bijih nikel misalnya, telah dilarang sejak 2020. Ini adalah upaya untuk menarik komitmen dari perusahaan China dan Korea Selatan untuk mengembangkan industri baterai EV domestik.
“Larangan itu sangat efektif, dan sangat penting bagi Indonesia,” papar Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan. “Kita baru puluhan tahun mengekspor bahan baku. Dengan pelarangan ekspor, selain penyerapan tenaga kerja, dampak positif juga terjadi pada pertumbuhan ekspor, pertumbuhan ekonomi di lokasi pengolahan mineral, serta penerimaan negara.”
Indonesia sendiri secara unik bergantung pada pertumbuhan investasi asing, dengan setengah dari semua investasi swasta di negara ini pada 2021 berasal dari investasi langsung luar negeri. Dengan prioritas investasi asing, Indonesia yang semula berada di urutan ke-120 Kemudahan Berbisnis Bank Dunia ketika Jokowi pertama kali menjabat pada tahun 2014, telah meningkat menjadi peringkat ke-73 pada tahun 2019.
Sayangnya, tidak semuanya berjalan mulus. Baru-baru ini, SoftBank Group menarik diri dari investasi di Nusantara, meskipun CEO grup itu, Masayoshi Son, ditunjuk sebagai anggota komite pengarah untuk proyek tersebut. Mundurnya SoftBank merupakan pukulan bagi proyek, yang menurut rencana sebelumnya, hanya akan didanai 19% oleh anggaran negara, dengan 26% lebih lanjut berasal dari investasi swasta dan sisanya dari kolaborasi antara badan usaha milik negara dan pihak swasta.
“Mundurnya SoftBank merupakan pukulan serius bagi proyek tersebut, sebuah indikator bahwa secara finansial, ibu kota baru tidak layak,” papar Direktur Eksekutif INDEF, Tauhid Ahmad. “Bagi investor swasta, penarikan itu menjadi preseden bahwa investasi di ibu kota baru tidak begitu menjanjikan dan itu pasti akan menciptakan permintaan ‘jaminan pasar’ dari pemerintah.”
Omnibus Law yang ditandatangani Jokowi juga mengalami kemunduran. Mahkamah Konstitusi tahun lalu memerintahkan pemerintah untuk memberikan landasan hukum yang lebih kuat untuk langkah tersebut. Kerangka kerja saat ini akan dinyatakan ‘secara permanen tidak konstitusional’ jika perubahan yang diperlukan tidak dilakukan dalam dua tahun ke depan karena proses hukum di balik undang-undang tersebut gagal memenuhi metode pembuatan undang-undang standar di bawah konstitusi.
Larangan ekspor mineral juga tidak ditanggapi dengan baik oleh masyarakat internasional. Uni Eropa meminta konsultasi dengan Organisasi Perdagangan Dunia atas larangan pada 2019, dan pada Januari 2021 meminta panel untuk mencari penghapusan pembatasan ekspor yang melanggar hukum yang diberlakukan oleh Indonesia. Uni Eropa mengklaim bahwa larangan tersebut melanggar aturan Perjanjian Umum tentang Tarif dan Perdagangan.
Sementara Jokowi telah menindaklanjuti komitmennya untuk membangun infrastruktur dan hilirisasi industri, para pengamat mengatakan dia tidak ambisius dalam pilar terakhirnya, yakni mengembangkan sumber daya manusia. Menurut mantan Menteri Perdagangan dan Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal, Tom Lembong, Jokowi sangat berorientasi pada perangkat keras dan sedikit berorientasi pada perangkat lunak.
Kebutuhan untuk mengembangkan sumber daya manusia yang lebih baik adalah masalah yang ditunjukkan oleh pemerintah. Bappenas dalam laporannya tahun 2019 menyebutkan bahwa meskipun akses ke pendidikan telah meningkat, kualitas pendidikan masih kurang dibandingkan dengan negara-negara sebaya dan bahwa ada kemungkinan besar (pendidikan) menghambat pertumbuhan ekonomi di masa depan.
Beberapa tindakan telah dilakukan. Ada program Kampus Merdeka, memungkinkan mahasiswa memperoleh kredit dengan melakukan magang di perusahaan. Indonesia juga memperkenalkan program yang disebut Kartu Indonesia Pintar yang membantu keluarga berpenghasilan rendah membayar biaya sekolah. Negara pun menghapus ujian nasional, diganti dengan penilaian kompetensi.
“Terlepas dari semua itu, Jokowi ‘kurang serius’ dalam mengembangkan sumber daya manusia negara,” ujar Direktur Eksekutif Pusat Regulasi dan Analisis Pembangunan Pendidikan, Indra Charismiadji. “Di bidang infrastruktur, Jokowi punya blueprint seperti apa yang ingin dibangun. Apakah pembangunan SDM yang unggul ada cetak birunya? Tidak ada, jadi jelas tidak menjadi prioritas.”
Alasan mengapa presiden belum banyak mendorong pengembangan sumber daya manusia seperti yang dia lakukan dengan hal-hal seperti infrastruktur, menurut mantan pejabat pemerintahan Jokowi adalah karena dia masih sangat berjiwa pengusaha, dan tidak nyaman mengambil langkah yang pengembalian investasinya sulit diukur.
“Banyak prestasi dibuat di bawah kepemimpinan Jokowi,” tutur peneliti di Puslitbang Politik-Badan Riset dan Inovasi Nasional, Wasisto Raharjo Jati. “Pembangunan infrastruktur besar-besaran tidak terjadi pada masa presiden sebelumnya. Tantangan terbesar bagi Jokowi sekarang adalah ‘masalah klasik’ dalam politik Indonesia tentang kurangnya kesinambungan kebijakan antara presiden yang berbeda.”
Jabatan presiden dibatasi konstitusi hanya dua periode, dan sementara elit politik lainnya mungkin dapat menggunakan pengaruh mereka melalui patronase dan ikatan keluarga, Jokowi dinilai tidak dalam posisi seperti itu. Setelah turun, dia akan kembali lagi menjadi anggota PDI Perjuangan. Namun, ketika masa jabatannya mendekati akhir, ada spekulasi terus-menerus bahwa Jokowi sedang mencoba untuk ‘memalsukan posisi’ yang dapat terus memengaruhi politik.
Spekulasi itu mulai muncul pada tahun 2020, ketika Gibran Rakabuming Raka, putra tertuanya, dan Bobby Nasution, menantu Jokowi, masing-masing mencalonkan diri dalam pemilihan walikota di Solo dan Medan, dan menang. Jokowi sendiri telah membantah spekulasi membangun ‘dinasti’, tetapi memiliki putra dan menantu dalam peran walikota utama memungkinkan dia untuk tetap berpengaruh.
Selain itu, ada spekulasi bahwa Jokowi mungkin berusaha mengubah konstitusi dan mencalonkan diri untuk masa jabatan ketiga setelah akhir masa jabatan lima tahun kedua pada tahun 2024. Peter Mumford, kepala praktik Asia Selatan dan Tenggara di Eurasia Group, mengatakan alasannya sebagian besar karena popularitas Jokowi yang terus berlanjut, koalisi politik yang luas, dan keinginan untuk membuat kemajuan lebih lanjut dalam agenda kebijakannya, termasuk ibu kota baru.
“Usulan alternatif untuk menunda pemilihan 2024 relatif baru, dan telah diajukan sebagai opsi lain untuk menjaga Jokowi tetap berkuasa lebih lama, untuk alasan yang sama, ditambah ‘waktu yang hilang’ selama pandemi,” jelas Mumford. “Beberapa politisi juga khawatir bahwa pengaruh mereka akan berkurang di bawah pemerintahan berikutnya, jadi akan diuntungkan jika Jokowi tetap berkuasa lebih lama.”
Namun, Jokowi tampaknya memahami bahwa tetap berkuasa untuk waktu yang lama dapat memicu krisis konstitusional. Dia sebelumnya mencoba menjauhkan diri dari pembicaraan apa pun tentang masa jabatan ketiga, merujuk pada perpanjangan kekuasaannya sebagai ‘tamparan di wajah’, tetapi juga mengatakan setiap orang dalam demokrasi berhak untuk berpendapat.