BERLIN – Pemerintah Jerman berencana untuk memperkenalkan ‘kartu hijau’, yang menawarkan kesempatan bagi warga negara asing, termasuk non-Uni Eropa, untuk datang dan mencari pekerjaan, bahkan tanpa tawaran pekerjaan selama mereka memenuhi sejumlah persyaratan. Rencana itu muncul sebagai upaya untuk mengatasi masalah kekurangan tenaga kerja, yang berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi negara.
Seperti dilansir dari Deutsche Welle, Chancenkarte atau secara harfiah berarti kartu peluang, yang disajikan Menteri Tenaga Kerja Jerman, Hubertus Heil, di sejumlah media lokal akan memberikan kesempatan bagi warga negara asing untuk mendapatkan pekerjaan di Jerman. Namun, mereka harus memenuhi empat kriteria, seperti gelar universitas atau kualifikasi profesional, pengalaman kerja minimal tiga tahun, keterampilan bahasa atau sebelumnya sempat tinggal di Jerman, dan berusia di bawah 35 tahun.
Kriterianya tidak berbeda dengan yang digunakan dalam sistem poin di Kanada, meskipun menggunakan sistem bobot yang lebih kompleks. Selain itu, menteri dari Partai Sosial Demokrat (SPD) kiri-tengah tersebut menegaskan akan ada batasan dan kondisi. Jumlah kartu akan dibatasi, sesuai dengan permintaan di pasar tenaga kerja. “Ini tentang imigrasi yang memenuhi syarat, proses yang tidak birokratis, dan itulah mengapa penting bagi kami untuk mengatakan bahwa mereka yang memiliki kartu dapat mencari nafkah saat mereka di sini,” terang Heil.
“Saya pikir sistem poin ini bisa menjadi peluang yang sangat baik bagi orang-orang yang datang dari luar negeri untuk bekerja di sini,” ujar Sowmya Thyagarajan, CEO Foviatech, yang menciptakan perangkat lunak untuk menyederhanakan transportasi dan layanan kesehatan. “Terutama karena berkurangnya populasi muda di Jerman. Kami saat ini memberikan preferensi kepada warga negara Jerman dan Uni Eropa ketika merekrut, hanya karena rintangan birokrasi yang melibatkan orang lain.”
Sayangnya, tidak semua orang bahagia dengan inovasi tersebut. Holger Bonin, Direktur Riset di Institute of Labor Economics (IZA) di Bonn, mengatakan bahwa kartu itu justru menyiapkan rintangan tinggi yang tidak perlu dan membuat sistem lebih rumit. Bagi Bonin, sistem poin Heil hanya akan membutuhkan lebih banyak birokrasi.
“Mengapa mereka tidak membuatnya lebih sederhana? Beri orang visa untuk mencari pekerjaan, dan jika mereka tidak menemukan apa pun dalam jangka waktu tertentu, mereka bisa pergi,” ujarnya. “Poin tambahan hanya membuatnya lebih rumit. Jika kriteria ini penting bagi pemberi kerja, mereka dapat memutuskannya selama perekrutan. Mereka tidak memerlukan kartu sebagai pra-seleksi.”
Bonin berpendapat bahwa beberapa kriteria Heil mungkin sebenarnya tidak terlalu penting bagi pengusaha di Jerman. Misalnya, jika mereka adalah perusahaan internasional yang berkomunikasi dalam bahasa Inggris, mereka tidak akan peduli apakah pelamar dapat berbicara bahasa Jerman atau sudah pernah tinggal di Jerman.
“Kualifikasi dan kemampuan bahasa sama-sama penting, tetapi tidak dengan kriteria pembatasan usia,” timpal Thyagarajan. “Usia kurang dari 35 tahun, saya tidak yakin tentang itu. Anda tidak harus muda, itu benar-benar tergantung pada bagaimana mereka benar-benar terampil. Selain itu, untuk beberapa profil pekerjaan, Anda tidak memerlukan pengalaman, tetapi untuk beberapa, Anda memang harus berpengalaman.”
Kekurangan tenaga kerja terampil Jerman telah menjadi masalah selama beberapa waktu. Gesamtmetall, Federasi Asosiasi Pengusaha Jerman di Industri Teknik Logam dan listrik, mengatakan bahwa dua dari setiap lima perusahaan di sektornya melihat produksi terhambat karena kurangnya staf. Sementara itu, Asosiasi Pusat untuk Kerajinan Terampil di Jerman (ZDH) mengatakan bahwa negara itu kehilangan sekitar 250 ribu perajin terampil.
Jumlah orang terampil yang pindah ke Jerman dari negara-negara non-Uni Eropa untuk bekerja memang telah meningkat selama beberapa tahun terakhir, tetapi masih relatif rendah. Menurut Mediendienst Integration, jumlah pekerja yang memenuhi syarat yang memasuki Jerman sekitar 60 ribu pada tahun 2019, hanya 12% dari semua migrasi dari negara-negara non-Uni Eropa ke Jerman pada tahun itu.
Jerman memiliki beberapa kelemahan budaya dibandingkan dengan negara-negara Barat lainnya. Yang mencolok adalah bahasa Jerman kurang digunakan secara universal daripada bahasa Inggris. “Pekerja terampil hampir mengarahkan tujuan mereka untuk masuk ke negara-negara yang berbahasa Inggris. Sampai batas tertentu, penting (karyawan kami berbicara bahasa Jerman), karena ini adalah Jerman, setidaknya kecakapan kerja,” kata Thyagarajan.
Ada masalah sistemik lain bagi majikan Jerman, yakni sistem federal yang berarti otoritas lokal yang berbeda kadang-kadang mengakui kualifikasi yang berbeda, dan ketergantungan Jerman pada birokrasi kertas, dengan karyawan, sering membutuhkan terjemahan sertifikat mereka yang disetujui oleh notaris. Ini juga merupakan kekhawatiran yang Heil coba atasi.
“Saya pikir sangat, sangat perlu, selain dari undang-undang imigrasi modern, untuk menipiskan ‘monster birokrasi’ dalam mengakui kualifikasi,” katanya kepada WDR. “Untuk itu, kami ingin melihat lembaga pusat yang dapat menyetujui kualifikasi dengan cepat dan back office di Jerman yang dapat mendukung konsulat yang terlalu banyak bekerja di luar negeri.”