Hong Kong – Festival belanja tengah tahun di China hadir lagi, tetapi “618”, sebutan untuk acara selama berminggu-minggu, membuat para pedagang kurang ceria dari biasanya karena pelanggan menjadi lebih hemat dalam menghadapi pendapatan yang stagnan dan ekonomi yang lesu.
Awalnya acara satu hari yang diadakan pada 18 Juni, 618 adalah salah satu dari dua musim belanja online utama di Tiongkok. Tetapi dengan keuangan rumah tangga yang masih terombang-ambing akibat pembatasan COVID-19 selama bertahun-tahun, pengangguran kaum muda mencapai rekor tertinggi dan sektor properti yang sangat penting goyah, pembeli dari seluruh negeri mengatakan bahwa tidak peduli seberapa keras platform e-commerce mencoba membujuk mereka untuk belanja, kebanyakan dari mereka tidak tergiur.
“Festival belanja saat ini berlangsung semakin lama, dan saya semakin bosan. Membeli banyak barang selama festival belanja hanya menghabiskan ruang di rumah saya dan membuang-buang uang,” kata Nicole Liu, yang juga seorang manajer di sebuah perusahaan e-commerce yang berbasis di Shanghai, seperti dilansir dari Nikkei Asia.
Banyak ekonom melihat konsumsi yang lemah sebagai hambatan utama ekonomi China, meskipun ada uang untuk dibelanjakan. “Deposito rumah tangga berada pada titik tertinggi dalam sejarah. Itu berarti orang tidak mau menggunakan uang di rekening bank mereka untuk konsumsi atau pembelian properti,” kata Dong Chen, kepala penelitian makroekonomi Asia di Pictet Wealth Management. “Kami melihat kurangnya kepercayaan secara luas, tidak hanya pada penjualan ritel,” imbuhnya.
Menariknya, di Indonesia justru bisnis e-commerce dianggap berkembang pesat karena didorong oleh kenaikan konsumsi domestik. Hal itu disampaikan dalam laporan berjudul Asia: Markets to Watch 2023 yang dirilis WGSN belum lama ini. WGSN juga menilai Indonesia sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara yang berhasil memulihkan berbagai sektor industri, mulai dari produk consumer goods, ritel, hingga infrastruktur.
“Ke depannya, prioritas dan perilaku konsumen Indonesia akan ditentukan oleh pengaruh generasi muda yang semakin dominan,” kata APAC Consultant WGSN, Annya Suhardi, seperti dilansir dari Kontan. Anya menambahkan, konsumen Indonesia kini lebih memilih untuk mendukung brand lokal. Tren itulah yang membuka peluang bagi merek dalam negeri untuk berkolaborasi menciptakan produk-produk baru sekaligus meningkatkan penjualan.