JAKARTA – Rupiah gagal mengangkat posisi ke zona hijau pada perdagangan Jumat (18/11) sore ketika salah seorang pejabat The Fed lagi-lagi menyuarakan pendapat hawkish mengenai suku bunga acuan. Menurut laporan Bloomberg Index pukul 14.59 WIB, mata uang Garuda berakhir melemah 21,5 poin atau 0,14% ke level Rp15.684 pr dolar AS.
Sementara itu, mata uang di kawasan Benua Asia terpantau bergerak variatif terhadap greenback. Yuan China menjadi yang paling terpuruk setelah anjlok 0,84%, diikuti yen Jepang yang melemah 0,06%, dolar Hong Kong dan peso Filipina yang sama-sama turun 0,02%, dan ringgit Malaysia yang terkoreksi tipis 0,01%. Sebaliknya, baht Thailand masih mampu menguat 0,13%, dolar Singapura naik 0,04%, sedangkan won Korea Selatan bergerak stagnan.
“Pelemahan rupiah imbas hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia. Sementara itu, ketegangan geopolitik di beberapa negara masih berlangsung sehingga membuat permintaan terhadap safe haven asset masih meninggi, termasuk dolar AS,” tutur Ekonom Bank Mandiri, Reny Eka Puteri, dikutip dari Kontan. “Neraca perdagangan Oktober 2022 yang mencatat surplus sebesar 5,67 miliar dolar AS belum mampu membawa rupiah ke teritori positif.”
Dari pasar global, dolar AS menuju minggu terbaiknya dalam sebulan pada hari Jumat, karena pernyataan hawkish dari pejabat Federal Reserve dan data penjualan ritel AS yang lebih kuat dari perkiraan telah mengerem kemunduran yang dipicu oleh tanda-tanda melemahnya inflasi. Mata uang Paman Sam terpantau menguat sekitar 0,1% pada minggu ini menjadi 106,53.
Presiden The Fed St. Louis, James Bullard, adalah pejabat bank sentral AS terbaru yang mendorong kembali harapan pasar untuk jeda kenaikan suku bunga, mengatakan bahwa bahkan pada asumsi dovish, tingkat dana perlu naik setidaknya 5% sampai 5,25% untuk mengekang inflasi dari 3,75% sampai 4% saat ini. “Asumsi yang lebih pesimis akan merekomendasikannya naik di atas 7%,” katanya.
“The Fed jelas tidak ingin mengakui (kemungkinan itu) dan telah mengatakan ada banyak pekerjaan yang masih harus dilakukan,” papar ahli strategi senior di BNZ di Wellington, Jason Wong, dilansir dari Reuters. “Pasar mencari konfirmasi lebih lanjut dari data (ekonomi), dengan pembacaan inflasi AS untuk November 2022 dan Desember 2022 penting untuk melihat tren.”
Awal pekan ini, data penjualan ritel AS yang dilaporkan lebih kuat dari perkiraan juga mengguncang harapan untuk jeda kenaikan suku bunga, karena tampaknya menunjukkan konsumen tetap dalam mode belanja. Penetapan suku bunga The Fed saat ini menyiratkan tingkat puncak tepat di bawah 5% dan suku bunga akan mulai turun pada akhir 2023.