JAKARTA – Rupiah harus menerima nasib berkubang di teritori merah pada perdagangan Rabu (6/4) sore setelah komentar hawkish dari para petinggi Federal Reserve membuat mata uang emerging market terpuruk. Menurut laporan Bloomberg Index pukul 14.59 WIB, mata uang Garuda ditutup melemah 11,5 poin atau 0,08% ke level Rp14.359 per dolar AS.
Sementara itu, mayoritas mata uang di kawasan Benua Asia juga tidak sanggup mengalahkan greenback. Won Korea Selatan menjadi yang paling terpuruk setelah anjlok 0,62%, diikuti peso Filipina yang terkoreksi 0,41%, yen Jepang yang melemah 0,29%, baht thailand dan ringgit Malaysia yang sama-sama berkurang 0,23%, dan yuan China yang terdepresiasi 0,19%.
“Rupiah akan melemah pada perdagangan hari ini karena sentimen kebijakan moneter yang agresif dari The Fed,” tutur analis pasar uang, Ariston Tjendra, pagi tadi seperti dilansir dari CNN Indonesia. “Komentar Lael Brainard, salah petinggi The Fed, soal kenaikan inflasi AS yang sudah sangat tinggi dan perlu direspons dengan kebijakan pengetatan moneter mengindikasikan bakal dilakukan penjualan cepat obligasi yang dimiliki bank sentral AS untuk mengurangi likuiditas di pasar.”
Sebelumnya, Lael Brainard, dan juga Mary Daly (Presiden The Fed San Francisco) merupakan dua pejabat elit yang secara historis selalu bersikap dovish. Namun, kali ini keduanya kompak bersikap hawkish yang membuat pasar semakin yakin bahwa The Fed akan sangat agresif dalam menaikkan suku bunga pada tahun ini.
“Sangat penting untuk menurunkan inflasi,” papar Brainard, dikutip dari CNBC International. “Komite Pasar Terbuka (Federal Open Market Committee/FOMC) The Fed akan terus mengetatkan kebijakan moneter secara metodis dengan serangkaian kenaikan suku bunga dan mulai mengurangi nilai neraca dengan cepat, dan bisa dilakukan di bulan Mei.”
Sebaliknya, Bank of Japan diprediksi masih akan lebih lambat daripada bank sentral lainnya dalam pengetatan kebijakan moneter. Ketika rekan-rekan globalnya seperti Federal Reserve telah mulai menaikkan suku bunga dan diperkirakan akan membuat langkah yang lebih agresif untuk menjinakkan inflasi, bank sentral Jepang justru melanjutkan stimulus besar-besarannya.
Hal tersebut berdampak pada penurunan yen dalam beberapa perdagangan terakhir. Pada Rabu pagi tadi, yen diperdagangkan di level 123,77 terhadap dolar AS. Mata uang ini sudah turun lebih dari 5% terhadap greenback sepanjang Maret 2022 kemarin. Meskipun secara tradisional dipandang sebagai aset safe haven, yen tidak kebal terhadap konflik Rusia dan Ukraina yang mengguncang pasar global.