JAKARTA – Rupiah tetap berkutat di area merah pada perdagangan Senin (20/6) pagi karena sentimen positif masih sangat minim. Menurut catatan bloomberg Index pukul 09.02 WIB, mata uang Garuda melemah 8 poin atau 0,05% ke level Rp14.832,5 per dolar AS. Sebelumnya, spot sudah ditutup terdepresiasi 57 poin atau 0,39% di posisi Rp14.824,5 per dolar AS pada transaksi Jumat (17/6) sore.
Research & Education Coordinator Valbury Asia Futures, Nanang Wahyudin, mengatakan, rupiah mengalami tekanan yang cukup hebat pada perdagangan akhir pekan lalu. Tekanan datang seiring dengan kecemasan pasar dalam negeri soal lonjakan terinfeksi Covid-19 yang kembali merebak. “Pelaku pasar yang sebelumnya lebih banyak terfokus pada kebijakan The Fed, kini akan menyikapi perkembangan kasus Covid-19 di Indonesia,” ujarnya, seperti dilansir dari Kontan.
Untuk perdagangan hari ini, ia melanjutkan, mata uang Garuda sangat minim katalis penting dari eksternal. Kemungkinan pergerakan rupiah akan dipengaruhi oleh Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada tengah pekan ini. Sejumlah analis memprediksi bank sentral akan menaikkan suku bunga acuan, dengan mempertimbangkan laju inflasi yang naik.
Hampir senada, Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi, rupiah masih berpotensi bergerak lebih rendah pada perdagangan awal pekan ini. Penyebabnya potensi dolar AS yang akan bergerak lebih jauh imbas sentimen sikap hawkish The Fed dan risiko ekonomi global. Selain itu, bank-bank sentral global juga terpantau proaktif dalam memperketat kebijakan moneter mereka untuk menjinakkan inflasi yang melonjak.
Mengikuti langkah Federal Reserve, Bank Nasional Swiss secara tidak terduga menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin pada hari Kamis (16/6) waktu setempat, sedangkan bank of england mengatrol suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 1,25% pada hari yang sama. Meski demikian, Bank of Japan masih bersikeras mempertahankan kebijakan yang sangat longgar walaupun inflasi meningkat.
Sementara itu, Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, berujar bahwa sentimen perang Rusia-Ukraina mereda. Selain itu, efek kenaikan suku bunga The Fed juga sudah turun. Dia pun memperkirakan kenaikan suku bunga lebih tidak akan lagi agresif. “Penguatan dolar AS diperkirakan juga akan mereda, sehingga berpotensi mengurangi tekanan terhadap rupiah dan mata uang Asia lainnya,” papar Josua.