JAKARTA – Rupiah masih masih berada di zona merah pada perdagangan Selasa (29/3) pagi karena sentimen eksternal belum terlalu bersahabat. Menurut laporan Bloomberg Index pukul 09.12 WIB, mata uang Garuda melemah tipis 2 poin atau 0,01% ke level Rp14.361,5 per dolar AS. Sebelumnya, spot berakhir terdepresiasi 14 poin atau 0,10% di posisi Rp14.359,5 per dolar AS pada transaksi Senin (28/3) sore.
Menurut Direktur TRFX Garuda Berjangka, Ibrahim Assuaibi, rupiah melemah akibat kenaikan imbal hasil obligasi, inflasi, serta kebijakan Bank of Japan yang mempertahankan batas imbal hasil implisit mereka. Sementara itu, dari sisi internal, pasar keuangan Indonesia kembali ditinggal pergi investor asing. “Ini terlihat dari banyaknya dana asing yang keluar dari Tanah air,” katanya, seperti dikutip dari Kontan.
Menurut data transaksi tanggal 21 hingga 24 Maret yang dicatat Bank Indonesia, nonresiden di pasar keuangan domestik terjadi jual neto atau outflow sebesar Rp3,13 triliun, berbanding terbalik jika dibandingkan pekan lalu yang mengalami beli neto (inflow) sebesar Rp8,23 triliun. Karena itu, untuk perdagangan hari ini, Ibrahim memprediksi rupiah akan dibuka fluktuatif, tetapi tetap ditutup di zona merah.
Hampir senada, analis DCFX Futures, Lukman Leong, mengatakan bahwa rupiah masih akan tertekan pada perdagangan Selasa akibat naiknya yield treasury AS yang didorong ekspektasi kenaikan suku bunga oleh Federal Reserve. Sentimen eksternal dengan menguatnya dolar AS jelang rilis data penting seperti inflasi dan tenaga kerja AS, masih akan memengaruhi pergerakan rupiah.
“Dolar AS dengan suku bunga tinggi tentunya akan lebih menarik investor. Data nonfarm payroll ke depannya akan menentukan apakah ekonomi AS akan bertahan di tengah kenaikan suku bunga yang super agresif,” tutur Lukman. “The Fed sudah memberikan sinyal apabila mereka akan menurunkan inflasi walau bisa membawa ekonomi ke resesi.”
Senior Economist Samuel Sekuritas, Fikri C. Permana, juga memperkirakan rupiah pada hari ini akan berpeluang melemah tipis. Secara keseluruhan, hal tersebut didorong dolar AS yang sedang menguat karena yield dari Treasury AS lagi tinggi dan banyaknya data ekonomi dari AS akan dirilis. “Pasar memiliki kekhawatiran dengan kenaikan yield Treasury AS yang membuat mereka berhati-hati, ditambah akan banyak data tenaga kerja US yang akan keluar,” papar Fikri.