Samilar atau samiler merupakan camilan yang terbuat dari singkong. Sudah populer sejak lama, kehadiran aneka jajanan kekinian tidak lantas membuat camilan nenek moyang satu ini tergerus zaman. Suwasih misalnya, salah satu produsen samilar asal Kota Batu, tetap produktif memenuhi permintaan pasar melalui usahanya yang sudah dirintis sejak puluhan tahun lalu.
Suwasih telah memproduksi samilar sejak 1998 silam. Dia mengolah singkong menjadi samilar di rumahnya, tepatnya di Jl. Jalibar, RT 3 RW 1, Desa Tlekung, Kota Batu. Awalnya, bahan baku singkong diperoleh Suwasih dari pasar. Namun saat ini, Suwasih bisa memanen singkongnya di kebun sendiri. “Dulu pertama usaha, beli singkong di pasar, sekarang tidak beli karena bisa memanen sendiri di kebun,” kata Suwasih.
Karena memanen dalam jumlah banyak, kapasitas produksi samilar Suwasih pun kian meningkat. Terlebih, saat ini dia telah memiliki mesin parut sendiri yang mempercepat proses produksinya. “Saat belum punya mesin parut, hanya bisa memproduksi 3 kg singkong, dan sekarang naik menjadi 9 kg per hari, tergantung permintaan pasar juga,” sambungnya.
Suwasih mengisahkan, masyarakat Jawa dulu, khususnya mereka yang berada di bawah garis kemiskinan, kerap mengonsumsi nasi dengan sawut. Sawut juga merupakan makanan kuno yang terbuat dari singkong yang dipasrah. Sari patinya kemudian diolah menjadi samilar. Sejak saat itu, samilar pun dikonsumsi masyarakat karena selain renyah dan kriuk, kerupuk ini juga mengenyangkan.
Sebelum membuat samilar, Suwasih menyiapkan bahan seperti singkong, tepung, kanji, daun seledri, bawang, dan garam. Proses pembuatan samilar diawali dari mengupas singkong pilihan, kemudian dicuci hingga bersih dan dimasukkan ke mesin serut. Tak lupa, Suwasih mencampurkan bumbu tambahan agar samilar buatannya lebih gurih. Setelah itu, adonan samilar dicetak manual, dikukus, dan dijemur di atas terik matahari.
Dikatakan Suwarsih, kalau musim panas, cuma butuh waktu sehari untuk kering, sedangkan ketika musim hujan, membutuhkan 2 sampai 3 hari karena harus benar-benar kering. Samilar yang sudah kering kemudian dikemas ke dalam plastik untuk dijual dalam bentuk mentah. Sebagian samilar lainnya digoreng dan dikemas plastik berisi empat keping samilar.
Setelah dikemas, samilar dibundel menjadi satu, dengan satu bundelnya berisi 10 bungkus. Samilar tersebut dipasarkan Suwasih ke Pasar besar Batu. “Saya berharap, semoga ke depan usaha samilar semakin berkembang dan sukses,” pungkasnya.
Tak jauh berbeda dengan Suwasih, Isnadi, warga Dusun Kasin, Kabupaten Malang juga sukses meraup untung jutaan rupiah dari usaha kerupuk singkong. Setiap harinya, Isnadi mampu mengolah 4 kuintal singkong menjadi 200 kg kerupuk singkong. Kerupuk buatan Isnadi awalnya dijajakan ke sejumlah pengepul langganannya. Seiring tingginya permintaan, Isnadi juga memasarkannya ke luar kota melalui marketplace.
Harga jual kerupuk singkong buatan Isnadi berbeda-beda. Cecek kerupuk yang besar dibanderol mulai Rp64 ribu per ball berisi 5 kg, sedangkan untuk cecek kerupuk kecil dijual sedikit lebih mahal, Rp65 ribu per ball. Artinya, jika terjual semua, Isnadi mampu memperoleh untung setidaknya Rp2 juta dalam sehari. “Kami berharap, ke depan mampu mengembangkan usaha karena selama ini masih menemui kendala dalam hal pemasaran,” tutup pria yang telah membuka usahanya itu sejak 2010 silam.