Jakarta – Wakil negara Rusia dan Ukraina Indonesia sedang berusaha mendekati kelompok Islam moderat terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama (NU). Ini karena NU memiliki kuasa dan pengaruh besar terhadap dunia politik di Asia Tenggara. Apalagi, sudah banyak pemimpin ekonomi raksasa di Asia Tenggara yang sudah mengakui keberadaan NU.
Pekan lalu, utusan Ukraina bertemu dengan pemimpin NU yang baru terpilih, Yahya Staquf. Keesokan harinya, utusan Rusia muncul di markas NU Jakarta. Setelah pertemuan tersebut, Staquf menyebut peristiwa di Ukraina sebagai perang dan meminta Presiden Rusia Vladimir Putin untuk menghentikan perang dan mengatakan, semua masalah dapat diselesaikan melalui diskusi.
“Saya sangat berharap pada NU, Yahya, dan seluruh umat Islam Indonesia akan angkat bicara dan memanjatkan doa untuk membantu mengakhiri perang ini,” kata Duta Besar Vasyl Hamianin, wakil negara Ukraina kepada jurnalis South China Morning Post. “Ini harapan untuk mengurangi penderitaan rakyat Ukraina, termasuk sekitar 2 juta saudara Muslim di Ukraina. Banyak orang sangat menderita di banyak kota karena seluruh Ukraina terbakar.”
NU, dengan 90 juta pengikutnya di negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia (270 juta jiwa), adalah organisasi Muslim terbesar di dunia. Sayap pemuda NU yang beranggotakan 5 juta orang, Gerakan Pemuda Ansor (Ansor), bahkan memiliki utusan untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), di Amerika Serikat, dan di Eropa.
“Di bawah Staquf, kemampuan NU untuk memproyeksikan pengaruh strategis ke seluruh dunia telah tumbuh.” Kata Holland Taylor, seorang pakar Islam yang menjalankan yayasan amal keagamaan LibForAll Foundation di AS.
Alex Arifianto, peneliti di S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS) Singapura, mengatakan bahwa utusan Rusia dan Ukraina melihat NU sebagai sekutu utama Presiden Indonesia Joko Widodo.
“Itulah sebabnya duta besar Ukraina dan Rusia menganggap NU sebagai lakon dari Indonesia yang sangat penting,” kata Arifianto. “Mungkin dengan mendekati NU, secara tidak langsung Ukraina maupun Rusia bisa mempengaruhi presiden joko widodo.”
Namun, Zachary Abuza, profesor Asia Tenggara dari National War College di Washington, mengatakan, NU dengan tradisi panjang humanisme dan kepeduliannya terhadap hak asasi manusia, ingin menemukan jalan tengah. Presiden Joko Widodo tidak mengutuk invasi Rusia dan ingin tetap netral, karena khawatir perang akan berdampak negatif terhadap pemulihan ekonomi Indonesia pasca-Covid-19.
“Sebenarnya, Indonesia tidak terlalu berarti bagi Rusia karena posisinya sebagai mitra dagang kecil, dan upaya Moskow untuk menumbuhkan Jakarta menjadi klien senjata utama tidak berhasil,” kata Abuza. “Bagi Rusia, sudah cukup menjadikan Indonesia sebagai pihak netral.”
Di sisi lain, Arifianto yang mempelajari politik Indonesia dan Islam politik, mengatakan NU semakin menjadi pemain kunci dalam diplomasi internasional Indonesia yang kemungkinan melampaui peran tradisionalnya dalam mempromosikan dialog antaragama. NU juga memiliki peran dalam pembangunan perdamaian, menunjuk pada bagaimana NU mencoba meredakan konflik di Afghanistan.