KAIRO – Eish, istilah roti dalam dialek arab Mesir, merupakan makanan pokok bagi 105 juta penduduk Mesir. Sayangnya, sekarang kehidupan sebagian besar rakyat Negeri Piramida berada di ‘ujung tanduk’ lantaran pasokan gandum, bahan utama pembuat roti, mengalami gangguan imbas konflik antara Rusia dan Ukraina yang tidak kunjung berakhir.
Seperti dilansir dari TRT World, roti adalah isu panas di Mesir. Saat ini, setengah dari populasi hidup atau di sekitar garis kemiskinan berjuang untuk mendapatkan dua kali makan setiap hari. Sebabnya, jalur pasokan gandum dari Rusia dan Ukraina terganggu, sehingga pemerintah setempat harus berjuang keras untuk memenuhi permintaan gandum di negara yang mengonsumsi lebih dari dua kali lipat rata-rata global.
Pada 2 Februari 2022 lalu, Menteri Pasokan Mesir, Ali Moselhy, mengatakan bahwa stok gandum strategis negaranya cukup untuk lima bulan. Namun, dia tidak tahu bahwa dunia akan berubah. Kurang dari 20 hari kemudian, Rusia meluncurkan apa yang disebutnya ‘operasi militer khusus’ di Ukraina, mengganggu pasokan global dari dua pengekspor gandum dan biji-bijian terbesar dunia.
Sejumlah negara yang bergantung pada impor gandum Rusia dan Ukraina akhirnya dibiarkan menatap ‘piring kosong’. Namun, yang paling terpengaruh adalah negara-negara di MENA (Middle East and North Africa), khususnya Lebanon dan Mesir. Rusia dan Ukraina bukan cuma lumbung roti bagi negara-negara kaya di Eropa, tetapi juga banyak negara di Timur Tengah dan Afrika Utara. Gandum adalah elemen vital yang tak terpisahkan dari semua negara importir di kawasan MENA.
Jauh sebelum pandemi Covid-19 mengganggu jalur pasokan dan mengurangi pendanaan pemerintah, jutaan orang di negara-negara MENA sudah menderita kelaparan parah dan kekurangan gizi. Berita di BBC mengutip Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, mengatakan bahwa ‘perang’ telah memperburuk kerawanan pangan di negara-negara miskin karena kenaikan harga. Beberapa negara mungkin menghadapi kelaparan jangka panjang jika ekspor Ukraina tidak dikembalikan ke tingkat sebelum perang.
Menurut sebuah laporan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) PBB, pada tahun 2019, sekitar 55 juta orang Arab atau 13,2 persen dari populasi menderita kelaparan, dan situasinya lebih mengerikan di negara-negara MENA yang terkena dampak konflik dan pertumpahan darah. Selain sengketa, kelangkaan air dan perubahan iklim menimbulkan kesulitan yang cukup besar untuk produksi pertanian dan kehidupan pedesaan di wilayah tersebut.
FAO melaporkan bahwa Mesir adalah salah satu importir gandum utama dunia, membeli sekitar 75 persen pasokan dari Ukraina dan Rusia. Permintaan gandum yang besar disebabkan fakta bahwa orang Mesir mengonsumsi lebih dari dua kali lipat rata-rata global 70 sampai 80 kg per orang, kebanyakan dalam bentuk eish baladi, roti pipih bundar tradisional yang menjadi makanan pokok setiap pekerja miskin.
Meskipun konflik Ukraina telah berdampak besar pada ekonomi dan ketahanan pangan Mesir, harga gandum sebenarnya telah melonjak 44 persen karena faktor lain, bahkan sebelum konflik meletus, memaksa pemerintah untuk menaikkan harga roti bersubsidi. Akibat kenaikan harga belakangan ini, Presiden Mesir, Abdel Fattah el Sisi, mendesak jajarannya menetapkan harga tetap untuk roti non-subsidi, yang dimulai pada akhir Maret 2022.
Kantor berita Al Nahar melaporkan, Presiden Sisi, dalam pidato pembukaan proyek Masa Depan Mesir untuk Produksi Pertanian, menyatakan bahwa dunia sedang mengalami krisis global dalam harga dan pasokan pangan akibat konflik Ukraina, dan negara sangat terpengaruh oleh krisis ini. Ia pun merujuk Surah Yusuf tentang perlunya ‘menyimpan gandum untuk kelaparan’ untuk mengurangi krisis pangan dengan bahaya yang paling kecil.
Akibat dominasi Ukraina dan Rusia sebagai eksportir, Kairo sekarang kesulitan mencari pemasok baru. Di sisi lain, ada kekhawatiran serius bahwa Bendungan Renaisans Besar Ethiopia, yang dibangun di Sungai Nil, dapat berdampak pada lahan pertanian di hilir Mesir dan meningkatkan masalah keamanan pangan di masa depan.
“Ketidakseimbangan pangan juga dapat memicu migrasi massal, kelaparan dan pemberontakan, sekaligus meningkatkan masalah ekonomi dan politik yang mendidih di wilayah tersebut,” tutur Dr. Engin Koc, asisten profesor di Department of International Relations Bursa Technical University, Turki. “Kairo harus cepat meningkatkan saluran pasokan makanan dan mekanisme produksi dalam negeri. Mesir mungkin harus mencari bantuan dari negara-negara Teluk untuk menangani kesulitan saat ini.”