JAKARTA – Rupiah harus mendekam di zona merah pada perdagangan Rabu (22/2) sore ketika perhatian utama investor saat ini tertuju pada pengumuman risalah rapat Federal Reserve yang akan dirilis pada hari ini waktu setempat. Menurut laporan Bloomberg Index pukul 14.59 WIB, mata uang Garuda berakhir melemah 10 pon atau 0,07% ke level Rp15.200 per dolar as.
Sementara itu, mata uang di kawasan Benua Asia terpantau bergerak variatif terhadap greenback. Won korea selatan menjadi yang paling terpuruk setelah anjlok 0,49%, diikuti peso Filipina yang terkoreksi 0,15%, serta yuan China dan baht Thailand yang sama-sama melemah 0,12%. Sebaliknya, yen Jepang mampu menguat 0,23%, sedangkan dolar Singapura naik tipis 0,09%.
“Rupiah akan kembali bergerak melemah terhadap dolar AS, terutama bila data ekonomi AS sesuai dengan atau bahkan melebihi ekspektasi,” tutur Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, seperti dikutip dari Kontan. “Investor cenderung menunggu rilis data PMI manufaktur AS serta data penjualan rumah di AS. Keduanya diprediksi meningkat dibandingkan bulan sebelumnya.”
Dari pasar global, dolar AS sedikit turun, sedangkan poundsterling bergerak lebih tinggi pada hari Rabu, setelah kejutan rebound dalam aktivitas bisnis di AS dan Inggris, yang meningkatkan kemungkinan bahwa bank sentral masing-masing negara akan meningkatkan suku bunga lebih jauh. Mata uang Paman Sam terpantau melemah tipis 0,071 poin atau 0,07% ke level 104,105 pada pukul 11.15 WIB.
Data yang dirilis pada hari Selasa (21/2) waktu setempat menunjukkan bahwa aktivitas bisnis AS secara tidak terduga pulih pada bulan Februari 2023 untuk mencapai level tertinggi dalam delapan bulan. Sementara itu, Purchasing Managers’ Index (PMI) flash komposit Inggris juga melonjak menjadi 53,0 pada bulan ini, di atas ambang batas pertumbuhan 50 untuk yang pertama sejak Juli.
“Itu adalah semacam masalah relativitas dalam arti, bahwa sementara sektor jasa berkinerja lebih baik secara keseluruhan, dorongan ekstra yang didapat poundsterling adalah karena kinerja yang sangat kuat,” papar ahli strategi mata uang senior di National Australia Bank, Rodrigo Catril, dilansir dari Reuters. “Saya pikir euro masih dalam situasi yang lebih sulit, mengingat ada anggapan umum bahwa ECB (Bank Sentral Eropa) masih memiliki lebih banyak pekerjaan yang harus dilakukan.”