JAKARTA – Rupiah harus menerima nasib berkubang di area merah pada perdagangan Rabu (3/11) sore ketika fokus pasar saat ini sepenuhnya tertuju pada hasil pertemuan federal Reserve dan sejumlah bank sentral lainnya. Menurut laporan Bloomberg Index pada pukul 14.59 WIB, mata uang Garuda berakhir melemah 62,5 poin atau 0,44% ke level Rp14.313 per dolar AS.
Setali tiga uang, mayoritas mata uang di kawasan Benua Asia juga tidak kuasa membendung laju greenback. Peso Filipina menjadi yang paling terpuruk setelah anjlok 0,32%, diikuti baht Thailand yang terdepresiasi 0,19%, ringgit Malaysia yang melemah 0,06%, dan won korea Selatan yang turun tipis 0,01%. Namun, yen Jepang dan dolar singapura masih mampu menguat, masing-masing 0,07% dan 0,04%.
“Rupiah bakal bergerak melemah pada transaksi hari ini, karena pasar semakin mengkhawatirkan isu tapering yang akan dilakukan Federal Reserve dalam waktu dekat,” tutur analis pasar uang, Ariston Tjendra, pagi tadi seperti dilansir dari CNN Indonesia. “Pasar juga menantikan seberapa agresif The Fed akan mengurangi stimulus, apakah melebihi perkiraan selama ini yang sebesar 15 miliar dolar AS per bulan yang diharapkan selesai pada medio 2022.”
Dari pasar global, dolar bertahan di dekat posisi puncak tahun ini pada hari Rabu, ketika investor sedangkan menantikan petunjuk apakah Federal Reserve mulai melepaskan dukungan kebijakan era pandemi lebih cepat daripada bank sentral di eropa dan Jepang. Mata uang Paman Sam terpantau melemah tipis 0,028 poin atau 0,03% ke level 94,062 pada pukul 11.06 WIB.
Seperti dikutip dari Reuters, The Fed diperkirakan akan mengumumkan pengurangan program pembelian aset 120 miliar dolar AS per bulan dalam pernyataan kebijakannya pada hari ini waktu setempat. Namun, para pedagang fokus pada petunjuk tentang kapan waktu kenaikan suku bunga, setelah sebulan pergerakan seismik di pasar obligasi untuk mengantisipasi kenaikan segera pada tahun depan.
“Kebijakan The Fed berada di bawah tantangan dengan cara yang tidak dapat diingat sejak tahun-tahun awal Volcker. Inflasi lepas landas dengan ekonomi yang telah menetapkan harga sendiri dari tingkat nominal nol dan tingkat riil negatif selama 18 bulan terakhir,” kata ahli strategi Deutsche Bank, Alan Ruskin. “Jika ketahanan ekonomi riil yang diharapkan untuk kenaikan suku bunga benar, dan inflasi tetap tinggi, ekspektasi pasar pada suku bunga di dekat 1,75% pada akhir 2026 terlihat terlalu rendah.”