JAKARTA – Rupiah tetap terbenam di area merah pada perdagangan Jumat (3/3) sore meskipun dolar AS harus bergerak lebih rendah ketika pasar meyakini Federal Reserve akan menghentikan kenaikan suku bunga jauh lebih cepat. Menurut laporan Bloomberg Index pukul 14.59 WIB, mata uang Garuda berakhir melemah 30,5 poin atau 0,20% ke level Rp15.311 per dolar AS.
Sementara itu, mata uang di kawasan Benua Asia terpantau bergerak variatif terhadap greenback. Won Korea Selatan menjadi yang paling perkasa setelah terangkat 0,49%, disusul baht Thailand yang menguat 0,15%, yen Jepang yang naik 0,07%, dan dolar Singapura yang bertambah 0,03%. Sebaliknya, yuan china harus terkoreksi 0,69%, peso Filipina melemah 0,07%, dan dolar Hong Kong bergerak stagnan.
“Rupiah melemah karena dolar AS mengalami rebound setelah data klaim pengangguran AS yang lebih rendah dan pernyataan hawkish pejabat The Fed Atlanta,” tutur analis senior DCFX, Lukman Leong, pagi tadi seperti dikutip dari CNN Indonesia. “Namun, imbal hasil obligasi AS yang mengalami penurunan akan membatasi pelemahan (rupiah).”
Dari pasar global, dolar AS turun kembali dari level tertinggi 2,5 bulan versus yen pada hari Jumat dan melemah menuju penurunan mingguan pertama sejak Januari terhadap mata uang utama karena para pedagang mencoba mengukur jalur kebijakan Federal Reserve. Mata uang Paman Sam terpantau melemah 0,196 poin atau 0,19% ke level 104,831 pada pukul 14.52 WIB.
Mengambil sedikit tenaga dari dolar AS dan kenaikan tajam dalam imbal hasil AS adalah komentar Presiden The Fed Atlanta, Raphael Bostic, semalam bahwa ‘pelan dan stabil akan menjadi tindakan yang tepat’, meskipun angka tenaga kerja baru menambah rangkaian data yang kuat. Sejak Jumat (24/2) lalu , indeks dolar AS telah tergelincir 0,36%.
Analis yang disurvei oleh Reuters mengatakan bahwa penguatan dolar AS baru-baru ini bersifat sementara. Mata uang tersebut diperkirakan akan melemah sepanjang tahun 2023 di tengah membaiknya ekonomi global dan ekspektasi Federal Reserve akan menghentikan kenaikan suku bunga jauh di depan Bank Sentral Eropa (ECB).
“Untuk tahun ini, prospek dolar AS akan terus bergantung secara kritis pada apakah obligasi dan ekuitas dapat bersatu (seperti yang tampaknya terjadi pada bulan Januari) atau apakah kita tetap berada di lingkungan bearish yang mendominasi tahun 2022,” tulis ahli strategi RBC di catatan klien, dilansir dari Reuters. “Pada gilirannya, ini akan bergantung pada data AS yang masuk, khususnya data inflasi.”