JAKARTA – Rupiah tetap tenggelam di zona merah pada perdagangan Rabu (5/1) sore ketika penyebaran varian omicron dan rencana kenaikan suku bunga The Fed masih menjadi kekhawatiran utama pasar. Menurut laporan Bloomberg Index pukul 14.59 WIB, mata uang Garuda berakhir melemah tajam 58 poin atau 0,41% ke level Rp14.371 per dolar AS.
Sementara itu, mayoritas mata uang di kawasan Benua asia juga tidak berdaya menghadapi greenback. Won Korea Selatan menjadi yang paling terpuruk setelah anjlok 0,43%, diikuti ringgit Malaysia yang terdepresiasi 0,25%, dolar Singapura yang melemah 0,1%, dan dolar Taiwan yang turun tipis 0,03%. Sebaliknya, baht Thailand masih mampu menguat 0,18%, sedangkan yen Jepang naik 0,09%.
“Nilai tukar rupiah masih berpotensi melemah pada transaksi hari ini karena pasar tetap mengantisipasi kenaikan suku bunga acuan oleh Federal Reserve,” tutur analis pasar uang, Ariston Tjendra, pagi tadi seperti dikutip dari CNN indonesia. “Sebelumnya, The Fed diperkirakan menaikkan suku bunga pada bulan Juni. Namun, perkembangan inflasi AS yang tinggi, mendorong investor berekspektasi bahwa kenaikan suku bunga bisa dilakukan pada Maret.”
Sentimen negatif juga datang dari dalam negeri, ketika kasus Covid-19, terutama varian omicron, sudah mulai meningkat. Hingga 4 Januari 2022, Indonesia mencatatkan penambahan 92 kasus baru Covid-19 akibat varian omicron. Jadi, total kasus Covid-19 akibat penularan varian omicron menjadi 254 kasus, terhitung sejak pertama kali diumumkan pada 16 desember 2021 lalu.
Dari pasar global, euro melayang di dekat level terendah dua minggu terhadap dolar AS di posisi 1,1279. Sementara itu, dolar australia dan Selandia Baru, yang sensitif terhadap risiko, juga masih berupaya untuk bangkit karena kekhawatiran omicron yang bisa menggagalkan pemulihan ekonomi dunia. Dolar Australia berada di level 0,7236 per dolar AS, sedangkan dolar Kiwi terakhir diperdagangkan di posisi 0,6819 versus greenback.
“Jumlah kasus Covid-19 yang jauh lebih tinggi di AS (dan sedikit lebih tinggi di China) tampaknya terutama meningkatkan kekhawatiran rantai pasokan dan kekhawatiran inflasi yang lebih tinggi di AS,” ujar ekonom Nomura, Andrew Ticehurst, seperti dilansir dari Economic Times. “Daripada meningkatkan kekhawatiran pertumbuhan global.”