Teheran – Setelah dihebohkan dengan unjuk rasa atas kematian Mahsa Amini, muncul lagi aksi protes melempar sorban atau ‘amameh parani’ yang menargetkan para ulama Syiah di Iran. Tindakan massal yang dilakukan masyarakat ini tentunya mengancam para ulama di Iran.
Protes yang sedang berlangsung di Iran atas kematian Mahsa Amini yang berusia 22 tahun saat berada dalam tahanan Guidance Patrol atau polisi moralitas Iran telah menjadi berita utama dunia. Namun, aksi melempar sorban menyaingi perhatian utama media Barat.
Sementara Amini ditangkap karena diduga mengenakan hijabnya secara tidak benar, sehingga melanggar hukum wajib hijab Iran, kampanye baru ini melibatkan amameh atau sorban yang dikenakan oleh ulama Syiah. Para pengunjuk rasa dengan sengaja menjatuhkan amameh dari kepala ulama yang lewat.
Dilansir dari South China Morning Post, gerakan yang dikenal sebagai amameh parani itu telah menyebar ke seluruh Iran sejak awal November 2022. Ini telah menjadi sangat populer di kalangan anak muda Iran. Dalam waktu kurang dari sebulan, amameh parani telah menjadi simbol ejekan satir nasional ulama Syiah dan legitimasi mereka di Iran, dan wajah lain dari protes global terhadap kematian Mahsa Amini.
“Orang-orang telah protes di jalan-jalan selama 50 hari,” kata Ulama Sunni Iran Molavi Abdolhamid dalam SINDONEWS.com. “Anda tidak dapat mendorong mereka kembali dengan membunuh dan memenjarakan mereka.”
Dengan berfokus pada signifikansi, simbolisme, dan fungsi amameh, kampanye tersebut secara eksplisit menargetkan hegemoni ulama Syiah atas politik dan masyarakat Iran. Pakaian ulama terdiri dari tiga bagian, yakni amameh (sorban yang terbuat dari bahan katun tipis berwarna putih atau hitam sepanjang 11 meter), pakaian katun panjang yang disebut qabā, dan abā (jubah panjang terbuka yang dikenakan di atasnya).
“Selenggarakan referendum dan lihat apa yang diinginkan rakyat Iran,” kata Abdolhamid. “Saatnya mengetahui perubahan seperti apa yang mereka senangi.”
Di sisi lain, para ulama Iran memandang amameh sebagai sesuatu yang sakral. Mereka bahkan menggunakan warnanya untuk menandakan garis keturunan seorang ulama. Dalam penggunaan kontemporernya, amameh hitam menandakan klaim seorang ulama atas garis keturunan langsung dari nabi.
Karena itu, amameh adalah sumber legitimasi agama dan menyiratkan rasa infalibilitas yang melekat dalam teologi Syiah. Republik Islam telah menerjemahkan model teologis ini secara sistematis ke dalam politik.
Amameh adalah satu-satunya sumber otoritas politik di Republik Islam. Ulama menempati semua posisi kekuasaan dan otoritas. Mereka telah membangun dan melindungi sistem politik dan ekonomi yang eksklusif.
Parlemen Iran, pemerintah, peradilan, militer, ekonomi, dan sistem pendidikan secara langsung diperintah oleh seorang ulama atau majelis ulama. Kandidat dalam pemilihan Iran harus disetujui dewan wali. Dewan juga menjamin semua undang-undang yang disahkan oleh parlemen sesuai dengan hukum syariah Syiah.
Amameh bukan lagi sekadar tanda pembelajaran agama atau status sosial. Sebaliknya, itu adalah simbol kekuatan politik hegemonik. Seperti pemecatan di gereja-gereja Kristen, menghapus amameh identik dengan penghapusan hak, otoritas, dan prestise yang terkait.