JAKARTA – Fluktuasi harga telur ternyata tidak cuma terjadi di Indonesia. Warga AS juga merasakan pergerakan harga telur yang tidak dapat ditebak. Pada awal tahun 2023 ini, mereka harus merasakan ‘rasa pahit’ ketika menyantap telur dadar lantaran harga komoditas tersebut mengalami kenaikan sebesar 59 persen, persentase tahunan terbesar di antara semua barang grosir di AS pada Desember 2022, disebabkan kombinasi flu burung, permintaan yang tinggi, dan inflasi.
Seperti dilansir dari TRT World, harga telur, salah satu makanan paling populer, di Negeri Paman Sam telah mencapai titik tertinggi, yang sudah menghadapi tingkat inflasi yang tinggi. Menurut laporan Departemen Pertanian AS yang melacak prospek harga pangan, harga telur naik 59 persen pada Desember 2022. Harga rata-rata untuk selusin telur di kota-kota AS mencapai 4,25 dolar AS, naik 1,78 dolar AS dari tahun sebelumnya.
Telur adalah produk yang mudah dimasak, padat protein, dan memasok banyak vitamin harian yang dibutuhkan untuk hidup sehat, menjadikannya makanan atau bahan yang populer. Jadi, ketika harganya naik, orang-orang memperhatikan. American Egg Board menyalahkan wabah flu burung yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan tingkat kematian hampir 100 persen di antara unggas.
Flu burung dianggap sebagai alasan mengapa harga telur di AS meningkat. Meski bukan satu-satunya alasan, flu burung berdampak signifikan terhadap kenaikan harga telur. Wabah yang terjadi sejak 2022 kemarin telah memengaruhi lebih banyak burung daripada wabah tahun 2015 lalu, menurut Pusat Pengendalian Penyakit atau CDC. Lembaga itu mengatakan, flu burung menyerang lebih dari 100 spesies unggas dan dapat menyebar dengan cepat, dengan tingkat kematian 90 hingga 100 persen pada ayam.
Untuk menghentikan penyebaran flu burung, para peternak ‘diperintahkan’ untuk membunuh ternak sekaligus, sesuatu yang oleh industri disebut ‘depopulasi’, semacam pembunuhan massal. Selama tahun lalu, sekitar 43 juta dari 58 juta ayam yang disembelih adalah ayam petelur. Ini adalah jumlah yang sangat banyak, dan pembunuhan massal terhadap mereka berarti kekurangan produksi telur yang memengaruhi harga.
Meskipun flu burung tampaknya menjadi faktor utama di balik kenaikan harga telur, kebiasaan makan konsumen juga berperan dalam kenaikan harga telur yang tiba-tiba. Menurut USDA, konsumsi telur telah meningkat 17 persen antara 2012 hingga 2021 dan bahkan melampaui daging merah. Orang AS dalam beberapa tahun terakhir telah meningkatkan jumlah telur yang mereka konsumsi sambil mengurangi asupan daging sapi dan daging rusa.
Konsumsi telur telah meningkat sebagian karena lebih banyak keluarga memakannya sebagai pengganti protein utama mereka, reporter Los Angeles Times, Sonja Sharp, mengatakan kepada CBS News. “Masing-masing dari kami makan telur sebanyak yang bisa ditelurkan oleh seekor ayam betina dalam setahun,” kata dia.
Permintaan konsumen untuk telur juga didukung oleh poros dari beberapa protein berbiaya tinggi di tengah inflasi makanan yang lebih luas. Tim Burke, pemilik salah satu restoran, mengatakan bahwa 70 persen dari menu yang mereka sediakan mengandung telur di dalamnya atau berputar di sekitar telur atau berpusat pada telur. “Orang-orang bahkan menaruh telur di atas hamburger. Kami juga memiliki telur rebus di salad kami,” ujarnya.
Meningkatnya inflasi adalah alasan lain di balik rekor harga telur, karena para petani harus berurusan dengan melonjaknya biaya pakan, bahan bakar, dan tenaga kerja. Jeff Smith, salah satu pemilik Cackle Hatchery di Missouri, mengatakan kepada The New York Times bahwa mereka mengenakan harga lebih karena kenaikan biaya tenaga kerja dan peralatan. “Salah satu kenaikan biaya terbesar kami adalah terus menaikkan upah untuk bersaing,” tuturnya.