JAKARTA – Dibandingkan abad ke-20, abad ke-21 sebagian besar merupakan masa damai dan jendela kemungkinan bagi pertumbuhan ekonomi, dengan banyak orang diangkat dari kemiskinan dan kelas menengah makmur mulai berkembang. Namun, di tengah munculnya era baru persaingan geopolitik, ada kemungkinan konflik besar di Asia dalam lima tahun ke depan, sebagian besar berasal dari Perang Dingin dan mungkin dihidupkan kembali oleh siklus ketegangan baru antara Timur dan Barat.
Ketegangan di Taiwan
Seperti dilansir dari Nikkei Asia, saat Ketua DPR AS, Nancy Pelosi, mengunjungi Taiwan beberapa waktu lalu, tanggapan keras china membuat negara-negara di Asia terkejut. Beijing melihat perjalanan itu sebagai tantangan langsung terhadap status quo yang rapuh yang disepakati lima dekade lalu. Negeri Panda mengepung Taiwan dengan latihan militer skala besar, meningkatkan kekhawatiran bahwa Beijing pada akhirnya dapat memblokade pulau itu dan berusaha untuk menormalkan agresi terhadap tetangganya.
Beijing dan Washington sebelumnya telah mengatasi krisis Taiwan di masa lalu, tetapi para kritikus khawatir bahwa invasi Rusia ke ukraina mungkin juga akan mendorong agresi China terhadap Taiwan. Taiwan, dengan konstitusi, angkatan bersenjata, dan pemerintahannya sendiri, sebenarnya tidak pernah diperintah China, tetapi Beijing mengklaim daerah itu sebagai miliknya dan menolak untuk mengesampingkan invasi.
“Ketakutan China akan keterlibatan AS dalam konflik apa pun, masih cukup untuk mencegah tindakan yang gegabah,” tutur seorang analis di Economist Intelligence Unit, Nick Marro. “Namun, kami masih melihat kemungkinan invasi China secara langsung dan disengaja ke Taiwan dalam lima tahun ke depan.”
China vs India
Puncak tinggi Himalaya telah menjadi tempat konfrontasi antara India dan China selama beberapa dekade. Dua negara terpadat di Asia berperang singkat pada tahun 1962 dan sejak itu kedua pasukan saling berhadapan di wilayah tak bertuan. Selama dua tahun, konflik ini terfokus pada wilayah Ladakh timur di Lembah Galwan. Prajurit di kedua sisi biasanya tidak diberikan senjata api dalam upaya meminimalkan eskalasi, tetapi banyak hal masih belum terkendali.
“Itu bisa terjadi lagi, dan lain kali bisa lebih buruk,” kata Profesor Studi China dan Dekan School of International Studies di Universitas Jawaharlal Nehru yang berbasis di New Delhi, Srikanth Kondapalli. “Konflik yang lebih besar antara India dan China di lima tahun ke depan adalah sangat mungkin. Saat ini, mereka belum menyelesaikan insiden Galwan. Ada kemungkinan konflik antara India dan China (karena ini).”
Sementara itu, Profesor Pertahanan dan Urusan Strategis di O.P. Jindal Global University, Pankaj Jha, sedikit lebih optimistis, mengatakan krisis Galwan mungkin dapat berkembang menjadi perang skala penuh, tetapi itu tidak akan terjadi. Menurutnya, kedua belah pihak diharapkan menahan diri untuk menghindari konflik besar dalam lima tahun ke depan. “Ketika China mendapat tekanan, ia melakukan sesuatu di sepanjang perbatasan. Mengingat hal ini, ada kemungkinan pertarungan terbatas,” ujarnya.
China vs Jepang
Pada awal Agustus 2022, sebuah think tank yang berbasis di Tokyo melakukan permainan perang yang mensimulasikan krisis di sekitar Kepulauan Senkaku yang dikelola Jepang, tetapi diklaim China sebagai Diaoyu. Dalam simulasi yang ditetapkan pada Agustus 2027, 200 kapal nelayan China mendekati Senkaku. Beberapa ‘nelayan’ bersenjata, mengisyaratkan bahwa mereka adalah pasukan khusus China, dan hal-hal dengan cepat menjadi tidak terkendali bagi pihak Jepang.
Skenario bergeser dari kekhawatiran potensial ke ancaman kehidupan nyata. Upaya nyata China untuk merebut kendali atas pulau-pulau dari Jepang dimulai pada 8 Desember 2008 silam, ketika dua kapal pemerintah China tiba-tiba memasuki perairan teritorial Jepang di sekitar Senkaku untuk pertama kalinya. Kapal-kapal itu tetap berada di perairan selama sembilan jam meskipun ada peringatan berulang kali dari Penjaga Pantai Jepang.
Pada September 2012, Jepang menasionalisasi Kepulauan Senkaku, dan sejak itu kapal-kapal pemerintah China setiap hari memasuki zona tambahan di sekitar Senkaku, kecuali saat cuaca buruk. Kapal-kapal China memasuki perairan teritorial Jepang dengan kecepatan tiga kali sebulan. Sementara Washington tidak mengambil posisi atas kedaulatan pulau-pulau itu, AS telah menegaskan bahwa Senkaku dilindungi oleh perjanjian keamanan AS-Jepang dan akan dipertahankan jika diserang.
“Meskipun tidak terpikirkan bahwa China akan berperang dengan Jepang hanya di atas Senkaku, jika ada konflik AS-China atas Taiwan, China pasti akan pergi ke Senkaku juga,” papar mantan diplomat Jepang, Nobukatsu Kanehara. “Dalam skenario seperti itu, AS akan fokus pada daratan Taiwan, sedangkan Jepang harus membela Senkaku sendiri.”
Korea Utara vs Korea Selatan
Empat tahun lalu, pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un, dan Presiden Korea Selatan, Moon Jae-in, berpegangan tangan dan berpelukan di sebuah wisma di dalam zona demiliterisasi yang memisahkan kedua negara. Ini adalah pertemuan puncak bersejarah yang mengakhiri kebijakan integrasi dan detente Moon dengan kebijakannya yang berduri bagi tetangga utara.
Kemudian, datang pandemi Covid-19, dan periode isolasi membuat Pyongyang meningkatkan banyak program senjata militer, yang kemungkinan akan muncul lebih percaya diri dan agresif daripada sebelumnya. Di sisi lain, sikap Korea Selatan juga telah berubah. Presiden baru, Yoon Suk-yeol, telah membuat prioritas melanjutkan latihan militer dengan AS dan berfokus pada strategi militer untuk ‘memenggal’ Korea Utara jika terjadi perang.
“Konflik dengan Korea Utara tidak ditakdirkan, tetapi risikonya meningkat,” tutur Profesor Studi internasional di Ewha Womans University di Seoul, Leif-Eric Easley. “Rezim Kim terlalu yakin akan kemampuan militer mereka. Ketika Korea Utara akhirnya keluar dari isolasi Covid-19 yang dipaksakan sendiri, itu lebih mungkin untuk menyelesaikan siklus provokasi dan pengujian daripada memilih diplomasi.”
India vs Pakistan
India dan Pakistan telah berperang setidaknya empat kali sejak pemisahan berdarah pada tahun 1947 silam, yang mengakibatkan lahirnya kedua negara. Dua negara Asia Selatan itu berperang di wilayah Kashmir yang disengketakan pada tahun 1948 dan 1999. Ada juga perang skala penuh pada tahun 1965 dan 1971. Pakistan kehilangan wilayah timur, menjadi Bangladesh, sebagai akibat dari perang tahun 1971.
Sekarang, para ahli percaya bahwa terlepas dari permusuhan mereka, India dan Pakistan tidak akan berperang dalam lima tahun ke depan. Shuja Nawaz, seorang rekan di Lembaga Pemikir Dewan Atlantik, berpandangan bahwa baik India maupun Pakistan tidak siap untuk perang skala penuh. “Mereka perlu keluar dari lubang ekonomi yang disebabkan oleh peristiwa global dan salah urus mereka sendiri,” paparnya.
India pernah menuduh Pakistan mensponsori terorisme di bagian Kashmir, yang lantas dibantah Islamabad, mengklaim bahwa itu hanya memberikan dukungan diplomatik dan moral kepada gerakan separatis di wilayah tersebut. Meski demikian, Jha, dari O.P. Jindal Global University, mengatakan dia tidak melihat perang akan terjadi dalam lima tahun ke depan karena kondisi ekonomi Pakistan dalam keadaan yang sangat buruk.
Konflik Afghanistan
Ketika militer AS mundur setelah dua dekade pendudukan, Taliban menyapu Kabul, merebut kendali penuh atas Afghanistan dalam serangan militer yang mengejutkan dunia. Saat bendera putih mereka dikibarkan di atas istana kepresidenan pada Agustus 2021, Taliban membawa pemerintahan patriarki, teokratis yang telah mengganggu pendidikan anak perempuan dan memaksa pemerintahan Islam konservatif pada penduduk. Namun, satu tahun sejak itu, para ahli mengakui penurunan kekerasan yang signifikan.
Orang-orang Afghanistan yang telah terbiasa dengan kematian dan kehancuran, sekitar 20 ribu sampai 40 ribu kematian per tahun, jumlah korban yang diyakini telah melampaui Yaman, suriah, dan Irak, melihat penurunan kekerasan yang nyata. Sejak Taliban merebut kekuasaan, PBB memperkirakan bahwa kekerasan telah turun menjadi 18% dari tingkat sebelumnya, sebuah proyeksi yang diverifikasi oleh Graeme Smith dari International Crisis Group.
Sebuah laporan oleh International Crisis Group juga mencatat bahwa perpindahan internal orang-orang yang terpaksa meninggalkan rumah mereka pada tahun-tahun sebelumnya menurun tajam karena hanya dua dari 34 provinsi yang melaporkan perpindahan baru karena konflik. Meski begitu, Smith mencatat dua konflik kecil di negara itu terus membara, satu di timur dan yang lainnya di utara.
Namun, negara ini memiliki masalah lain, yakni kelaparan di beberapa bagian dan kekurangan obat-obatan. Dengan Taliban hampir tidak menguasai banyak wilayah, tetangga Afghanistan, seperti Pakistan, Iran, bahkan China, mungkin mencoba mengisi kekosongan, sebuah skenario yang di masa lalu telah menyebabkan perang proksi.
“Negara yang paling mungkin untuk campur tangan adalah Pakistan, yang memiliki masalah yang berkembang dengan gerakan militan lokal, Tehreek-e-Taliban,” kata ahli senior di Institut Perdamaian AS, Asfyndyar Mir. “Ada kemungkinan bahwa Pakistan dapat melakukan beberapa serangan di Afghanistan Timur, sehingga bisa meningkatkan kekerasan.”
Meski demikian, para ahli percaya AS tidak akan mengerahkan tentara mereka lagi. Menurut Smith, AS tidak memiliki banyak keinginan untuk itu. “Kita harus mencoba untuk menghindari negara-negara Barat melanjutkan perang proksi. Saya berharap negara-negara Barat akan menghentikan kebiasaan memberi lebih banyak uang atau senjata kepada aktor non-negara di Afghanistan,” tandas Smith.