Perang Afghanistan, Kontraktor Militer Swasta Raih Untung Besar

Kelompok Taliban menduduki istana kepresidenan Afganistan di Kabul - www.cnnindonesia.com

/KABUL – Pengambilalihan Afghanistan oleh Taliban setelah kepergian militer AS telah membuat banyak orang menyimpulkan bahwa perang di Afghanistan berakhir dengan kegagalan untuk Negeri Paman Sam. Namun, menurut pandangan banyak orang di militer AS, konflik selama 20 tahun telah meraih sukses besar, dengan pemenang sebenarnya adalah ribuan kontraktor militer swasta.

Bacaan Lainnya

Ketika membahas politik perang, premis sentral sering dikemukakan adalah Cui bono atau siapa yang paling diuntungkan? John Boyd, mantan pilot pesawat tempur Angkatan Udara AS, menguraikan teori ketika tidak ada kontradiksi antara misi yang dinyatakan militer dan mengabaikan keberhasilan pertempuran. “Orang-orang mengatakan Pentagon tidak memiliki strategi. Mereka salah. Pentagon memiliki strategi, jangan ganggu aliran uang, tambahkan,” katanya seperti dilansir dari TRT World.

Sejak Authorization for Use of Military Force dalam menanggapi serangan teroris 9/11 ditandatangani pada tanggal 18 September 2001 oleh Presiden AS saat itu, George W Bush, negara tersebut menghabiskan 2,26 triliun dolar AS untuk perang di Afghanistan, atau 300 juta dolar AS per hari. Kira-kira 800 miliar dolar AS disalurkan ke biaya perang langsung dan 85 miliar dolar AS untuk melatih tentara Afghanistan yang sekarang kalah.

Upaya perang di Afghanistan secara efektif merupakan upaya privatisasi, dengan militer AS mengandalkan kontraktor keamanan swasta. Di tengah berita tentang penarikan yang diumumkan AS pada akhir , kesepakatan 450 juta dolar AS untuk 37 helikopter UH-60 segera tercapai. UH-60 sendiri diproduksi oleh Sikorsky, sebuah perusahaan milik Lockheed Martin. “Kesepakatan semacam itu merupakan pengingat akan sejarah perang yang nyata dan kotor, sangat tragis bagi Afghanistan, sangat menguntungkan bagi sebagian orang AS,” ujar Alexander Cockburn, seorang jurnalis politik.

Sebagai pembelanja pertahanan terbesar di dunia dengan selisih yang lebar, perusahaan-perusahaan AS menyumbang hampir 60 persen dari total penjualan senjata oleh 100 kontraktor pertahanan terbesar di dunia. Banyak dari mereka telah menguangkan cek besar dari anggaran perang Pentagon selama bertahun-tahun, dengan mayoritas dari hampir 5 triliun dolar AS yang dihabiskan untuk perang di Afghanistan dan Irak ditransfer ke kontraktor militer.

Selain raksasa seperti Lockheed Martin, DynCorp, Academi (sebelumnya Blackwater), Black & Veatch. dan perusahaan minyak seperti ExxonMobil yang mengirimkan bakar yang digunakan tentara, hanyalah beberapa yang mendapat untung besar dari kontrak menguntungkan Washington. Untuk memahami skala ekonomi kontraktor di tiga teater perang, yakni Afghanistan, Irak, dan Suriah, Departemen Pertahanan AS mengonfirmasi penggunaan layanan lebih dari 27.000 kontraktor pada kuartal fiskal keempat tahun 2020.

Lebih jauh lagi, ‘revolving door’ Pentagon antara lembaga keamanan, Kongres, dan perusahaan AS hanya melanggengkan mesin perang, yang memungkinkan banyak pihak untuk memberi makan di palung perang Pentagon yang membengkak. Investigasi oleh Project on Government Oversight menemukan bahwa antara 2008 hingga 2018, sekitar 380 pejabat tinggi dan perwira telah menjadi pelobi , konsultan kontraktor pertahanan, atau anggota dewan dan eksekutif dalam waktu dua tahun setelah mereka meninggalkan militer.

Dalam film dokumenter Why We Fight yang rilis 2005 lalu, pensiunan letnan kolonel Angkatan Udara AS, Karen Kwiatkowski, mengatakan bahwa bagus bagi orang-orang AS yang memiliki putra atau putri yang akan dikerahkan. Namun, ketika politisi yang memahami kontrak, kontrak masa depan, ketika mereka melihat perang, mereka memiliki analisis biaya-manfaat yang berbeda.

Apabila digambarkan secara umum, jika seseorang telah membeli 10.000 saham dolar AS dan dibagi rata di antara lima kontraktor pertahanan teratas, yakni Lockheed Martin, Boeing, Raytheon, Northrop Grumman, dan General Dynamics, sekarang akan bernilai hampir 100.000 dolar AS. Angka tersebut bahkan lebih besar daripada pendapatan saham S&P selama dua dekade terakhir.

Pos terkait