JAKARTA – Pemerintah agaknya lebih cenderung memprioritaskan pengendalian Covid-19 daripada membuka sektor pariwisata seiring dengan kemunculan varian omicron. Menurut Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, kontrol yang ketat akan membantu negara ketika menjadi tuan rumah untuk pertemuan G-20 yang berlangsung pada Desember 2021 di Bali.
“KTT G-20 di Bali akan menarik hampir 7.000 delegasi,” kata Sandiaga dalam sebuah wawancara online baru-baru ini, seperti dilansir dari Nikkei Asia. “Kami tidak ingin mengambil risiko acara ini (dengan) terburu-buru menghapus (aturan) karantina. Ini bukan kompetisi untuk dibuka lebih cepat. Ini adalah penanganan situasi Covid-19 yang lebih diprioritaskan.”
Ia melanjutkan, adalah ‘bijaksana’ bagi Indonesia untuk terus memberlakukan peraturan karantina yang ketat, terutama karena kekhawatiran atas varian baru Covid-19 yang dinamakan omicron. Pemerintah terus mengawasi perkembangan jenis tersebut karena ingin memastikan bahwa pasar domestik tidak akan terkena dampak varian baru ini.
Pandemi telah melanda pulau-pulau yang bergantung pada pariwisata seperti Bali, dengan pekerja di sektor ini membidik persyaratan karantina yang ketat. Bahkan sebelum pengenaan tindakan pengawasan perbatasan yang lebih ketat untuk mengantisipasi varian baru, Indonesia mewajibkan turis, baik yang sudah divaksinasi atau tidak, untuk dikarantina selama tiga hari, sedangkan resor Thailand seperti Phuket telah memperkenalkan kebijakan nol-karantina untuk wisatawan yang diinokulasi.
Sebagai catatan, Indonesia menyambut 16 juta pengunjung asing pada pra-pandemi tahun 2019, tetapi langsung berkurang menjadi hanya 4 juta pada tahun lalu karena pembatasan perjalanan yang disebabkan Covid-19. Kemerosotan itu berlanjut pada tahun 2021, dengan hanya 1,1 juta pengunjung asing yang masuk dalam sembilan bulan yang berakhir pada September 2021, atau turun 67% dari periode yang sama tahun sebelumnya.
“Kami hanya perlu meminta orang-orang di industri untuk bersabar, untuk memastikan bahwa ketika kami membuka kembali dan ketika kami melanjutkan perjalanan internasional, kami siap dalam hal respons kebijakan untuk menangani potensi gelombang baru Covid-19, juga varian baru,” katanya. “Kami ingin memastikan bahwa pembukaan kembali Bali juga mempertimbangkan saran ahli kesehatan mengenai risiko. Jadi, tren dan penyesuaian epidemiologis akan terus berlanjut.”
Dengan ketidakpastian situasi virus corona di seluruh dunia, pihaknya hanya mengharapkan sekitar 1,8 juta hingga 3,6 juta kunjungan wisatawan asing pada tahun depan. Bahkan pada tahun 2024, ketika banyak orang berharap dunia akan kembali normal, targetnya sekarang adalah 9,5 juta menjadi 14,3 juta kunjungan, penurunan mencolok dari 25 juta menjadi 28 juta kedatangan yang digembar-gemborkan sebelum pandemi.
“Di era pascapandemi, Indonesia akan berupaya menjadikan sektor pariwisata lebih hijau dan berkelanjutan,” sambung Sandiaga. “Ini bergeser dari basis kuantitas ke basis kualitas, dengan perjalanan akan dipersonalisasi, disesuaikan, dilokalkan, dan ukurannya lebih kecil. Kami bercita-cita menjadi pemain kompetitif dalam pariwisata berkelanjutan dan ekowisata ke depan. Kami yakin, khususnya Bali, akan terus menjadi tujuan wisata internasional terkemuka.”
Secara tradisional, banyak turis mancanegara ke Indonesia yang tertarik ke Bali. Dari 16 juta pengunjung asing pada 2019, hampir 40% masuk melalui Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai. Namun, itu telah memicu kekhawatiran tentang over-tourism di Pulau Dewata. Menyikapi hal tersebut, pemerintah sedang mengembangkan lima destinasi pariwisata prioritas di Bali yang akan didorong menjadi ramah lingkungan dan berkelanjutan.
“Langkah ini sebagian didorong oleh janji Indonesia untuk mengimplementasikan Sustainable Development Goals PBB yang mengalir ke peta jalan pariwisata berkelanjutan,” tambah Sandiaga. “Untuk mempercepat pencapaian, kami akan menetapkan beberapa tujuan yang akan menyediakan konektivitas untuk tujuan wisata yang berfokus pada wisata minat khusus, wisata olahraga dan ekowisata, juga meningkatkan kebersihan pada saat yang sama.”
energi baru dan terbarukan, lanjut Sandiaga, akan diperkenalkan di semua destinasi pariwisata, dengan kegiatan carbon offset karena masyarakat banyak menggunakan karbon untuk sampai ke destinasi. Mereka nantinya akan ditawari kegiatan untuk mengimbangi karbon itu, seperti kewajiban (penanaman) bakau. “Kemajuan teknologi memberikan peluang potensial untuk membuat pariwisata Indonesia lebih berkelanjutan dan hijau,” tutup Sandiaga.