JAKARTA – rupiah harus merana di teritori merah pada perdagangan Jumat (27/10) sore setelah data terbaru menunjukkan perekonomian AS pada kuartal ketiga 2023 tumbuh lebih cepat dari yang diperkirakan. Menurut laporan catatan Bloomberg Index pukul 14.45 WIB, mata uang Garuda ditutup melemah 19 poin atau 0,12% ke level Rp15.938,5 per dolar AS.
Berbanding terbalik, mayoritas mata uang di kawasan Benua Asia justru mampu mengalahkan greenback. Won korea selatan menjadi yang paling perkasa setelah melonjak 0,34%, diikuti ringgit Malaysia dan peso Filipina yang sama-sama terapresiasi 0,2%, baht Thailand yang bertambah 0,05%, yen Jepang yang menguat 0,03%, dan yuan China yang naik tipis 0,01%.
“Rupiah diproyeksikan bergerak melemah pada hari ini seiring dengan data ekonomi AS yang tumbuh AS, sehingga membuat dolar AS menguat terhadap mata uang lainnya,” ujar pengamat DCFX Futures, Lukman Leong, pagi tadi seperti dikutip dari CNN Indonesia. “Data-data terbaru menunjukkan pertumbuhan ekonomi AS yang lebih kuat pada kuartal ketiga.”
Perekonomian AS pada kuartal ketiga 2023 tumbuh lebih cepat dari perkiraan, didukung oleh kuatnya konsumen, meskipun tingkat suku bunga lebih tinggi, tekanan inflasi yang terus berlanjut, dan berbagai tantangan domestik dan global lainnya. Departemen Perdagangan AS melaporkan bahwa produk domestik bruto (PDB), yang mengukur semua barang dan jasa yang diproduksi di AS, naik sebesar 4,9% year-on-year pada Juli hingga September 2023, dan naik dari laju 2,1% pada kuartal kedua kemarin.
Kenaikan tajam ini disebabkan oleh kontribusi belanja konsumen, peningkatan persediaan, ekspor, investasi residensial, dan belanja pemerintah. Belanja konsumen, yang diukur dengan pengeluaran konsumsi pribadi, meningkat sebesar 4% pada kuartal ini setelah hanya meningkat sebesar 0,8% pada kuartal kedua, dan menyumbang sebesar 2,7 poin persentase. Investasi domestik swasta bruto melonjak 8,4% dan belanja serta investasi pemerintah melonjak 4,6%.
“Laporan ini mengonfirmasi apa yang telah kita ketahui, yakni konsumen melakukan belanja besar-besaran pada kuartal ketiga,” kata kepala strategi investasi untuk US SPDR Business di State Street Global Advisors, Michael Arone, dilansir dari CNBC. “Saya rasa laporan ini tidak mengubah prospek kebijakan moneter dan itu sebabnya menurut saya Anda tidak melihat reaksi berlebihan dari pasar.”
Meskipun laporan tersebut dapat memberikan dorongan kepada Federal Reserve untuk menjaga kebijakannya tetap ketat, para pedagang masih memperkirakan tidak ada peluang kenaikan suku bunga ketika bank sentral bertemu minggu depan, menurut data CME Group. Penetapan harga berjangka menunjukkan peluang kenaikan sebesar 27% pada pertemuan bulan Desember setelah rilis PDB.