JAKARTA – Meningkatnya suhu global telah menaikkan risiko pekerja meninggal atau menjadi cacat karena bekerja dalam suhu yang sangat panas, demikian menurut International Conference on Occupational Heat Stress pada tengah pekan ini. Tidak adanya standar baku untuk suhu untuk pekerjaan di luar ruangan, menempatkan satu miliar pekerja pertanian dan puluhan juta pekerja konstruksi dan industri luar ruangan lainnya dalam bahaya.
Seperti dilansir dari TRT World, konferensi tersebut, yang diadakan di Qatar saat suhu musim semi menuju 40 derajat Celcius, menyoroti puluhan ribu pekerja di seluruh dunia telah meninggal karena penyakit ginjal kronis dan penyakit lain yang terkait dengan panas ekstrem selama beberapa dekade terakhir. Sekitar satu miliar pekerja pertanian dan puluhan juta pekerja konstruksi dan industri luar ruangan lainnya berada di ‘garis depan’. Penjaga kolam renang, tukang kebun, dan pekerja pengiriman pos juga menghadapi bahaya panas.
Pekerja konstruksi dapat terpapar sinar ultraviolet yang cukup selama 30 hingga 40 tahun dan mendapatkan lebih dari dua kali lipat risiko kanker kulit non-melanoma. Sementara itu, peneliti Taiwan dalam sebuah studi memperingatkan bahwa penyakit ginjal akibat panas ekstrem mungkin merupakan salah satu epidemi pertama akibat pemanasan global.
Menurut perkiraan ILO (International Labour Organization), Asia Selatan dan Afrika sub-Sahara akan paling menderita akibat hilangnya jam kerja karena panas ekstrem di tahun-tahun mendatang. Sementara itu, India, Bangladesh, dan negara tetangganya memiliki populasi pertanian yang besar dan banyak yang bekerja di sektor informal tanpa asuransi kesehatan.
Vidhya Venugopal, seorang profesor kesehatan kerja di Institut Sri Ramachandra di Chennai, menyoroti kasus ratusan ribu petani garam di India yang bekerja dalam kondisi seperti gurun, yang menderita penyakit ginjal dan penyakit lainnya dengan tingkat yang tinggi. “Mereka tidak memiliki penutup dan mereka terendam garam sepanjang hari,” kata Venugopal kepada kantor berita AFP.
“Orang-orang sekarat, orang-orang terkena penyakit. Kita perlu mengadaptasi semua praktik yang digunakan orang lain dan menyesuaikannya dengan budaya kita sendiri,” sambung Venugopal. “Pemilik (selalu) mengatakan tidak, tidak, tidak, kami tidak ingin pekerja kami beristirahat karena kami akan kehilangan produktivitas, dan itu harus diubah.”
Tidak ada standar internasional untuk suhu untuk pekerjaan di luar ruangan, tetapi perubahan iklim telah mendorong regulasi baru. Pemerintah AS sempat menjanjikan aturan baru pada tahun 2021 setelah gelombang panas yang mematikan dan Gedung Putih mengatakan bahwa panas adalah pembunuh utama terkait cuaca di negara tersebut. Sayangnya, belum ada draft yang diproduksi.
Piala Dunia tahun lalu di Qatar menarik perhatian para pekerja yang bekerja keras di suhu yang bisa mencapai 50 derajat Celcius selama puncak musim panas di negara-negara di seberang Teluk. Namun, sejak 2021, Qatar telah melarang bekerja di luar ruangan antara pukul 10.00 sampai 15.30 waktu setempat, dari 1 Juni hingga 15 September. Reformasinya dipuji oleh ILO, meski beberapa ahli mengatakan masih ada lebih banyak yang bisa dilakukan. Otoritas Siprus dan Yunani juga telah membatasi jam kerja, memerintahkan istirahat ekstra dan pakaian pelindung panas saat suhu naik di atas 35 derajat Celcius.
Sementara itu, La Isla Network bekerja sama dengan perusahaan gula di Amerika Tengah untuk memperbaiki kondisi. Pekerja dengan shift sembilan jam memotong 4,75 ton tebu sehari. Dengan jeda, naungan, dan air yang lebih baik, mereka memotong 6,2 ton dalam empat jam. Justin Glaser, kepala La Isla, mengatakan lebih dari 20 ribu pekerja gula di Amerika Tengah telah meninggal dalam satu dekade terakhir akibat penyakit ginjal kronis.
Radiasi panas dan matahari yang ekstrem melepaskan sengatan panas, penyakit ginjal, jantung dan paru-paru, serta meningkatkan risiko kanker, menurut para peneliti. Pakar kesehatan mengatakan bahwa istirahat, air, dan naungan diperlukan untuk mengurangi risiko mematikan. “Sains memberi tahu kita bahwa semua negara dapat berbuat lebih banyak,” Kepala Regional ILO untuk negara-negara Arab, Ruba Jaradat.