JAKARTA – Negara-negara di kawasan Asia Tenggara semakin melihat pengembangan kapal selam sebagai kebutuhan untuk keamanan mereka di tengah perubahan realitas geopolitik, termasuk persaingan antara AS dan China. Sementara beberapa analis mengatakan langkah itu sebagai ‘logis dan perlu’, yang lain mempertanyakan kegunaannya karena membutuhkan biaya selangit dan kerugian manuver melalui perairan daerah.
Seperti dilansir dari South China Morning Post, di kawasan ASEAN, Indonesia, Malaysia, Singapura, Vietnam, dan Myanmar adalah beberapa negara yang telah memiliki kapal selam, sedangkan Thailand dan Filipina sedang dalam proses memperolehnya. Awal bulan ini, Singapura memulai fase pengembangan kapal selam berikutnya dengan kapal selam kelas invincible buatan Jerman yang baru dibangun.
Menurut Dosen Hukum Internasional di Universitas Indonesia, Aristyo Darmawan, peningkatan akuisisi kapal selam oleh negara-negara Asia Tenggara didorong persaingan geopolitik antara AS dan China. Negeri Paman Sam memiliki sekitar 66 kapal selam, termasuk lebih dari 50 kapal selam serang bertenaga nuklir. Sementara itu, Negeri Panda punya enam kapal selam rudal balistik bertenaga nuklir, enam kapal selam serang bertenaga nuklir, dan 46 kapal selam serang bertenaga diesel, berdasarkan data Departemen Pertahanan AS yang dirilis tahun lalu.
“Dalam beberapa tahun terakhir, kita telah melihat bagaimana Laut China Selatan semakin termiliterisasi,” kata Aristyo. “Jadi, ‘logis dan perlu’ bagi negara-negara Asia Tenggara untuk mencoba memperoleh kapal selam karena wilayah tersebut terletak pada jalur laut yang strategis dengan lalu lintas yang padat.”
Ia menambahkan, masuk akal juga bagi negara-negara untuk mengikuti perkembangan pertahanan di kawasan, dan ini termasuk keberadaan Unmanned Underwater Vehicles (UUV) yang sering ditemukan di perairan teritorial dan sebagian besar milik China dan AS. Juga dikenal sebagai drone bawah air, UUV dapat beroperasi tanpa penumpang dan dapat digunakan untuk berbagai tugas, termasuk eksplorasi ilmiah dan pengumpulan intelijen.
Dalam kasus Indonesia, Aristyo mengatakan, perolehan kapal selam selalu menjadi perhatian apalagi setelah tenggelamnya kapal selam KRI Nanggala-402 di lepas pantai Bali pada April 2021 lalu. Pada bulan Februari kemarin, Indonesia menandatangani perjanjian dengan Prancis untuk berkolaborasi dalam pembangunan dua kapal selam Scorpène, yang diklaim sangat baik dalam menghindari pengamatan, sangat cepat, dan mampu melakukan misi seperti perang kapal anti-permukaan dan serangan jarak jauh.
Hampir senada, Ian Storey, rekan senior di Institut ISEAS-Yusof Ishak di Singapura, mengatakan, ada alasan strategis yang memaksa untuk mengoperasikan kapal selam bagi negara-negara seperti Vietnam, yang terkunci dalam sengketa teritorial jangka panjang dengan China. Enam kapal selam Vietnam akan membuat China berpikir dua kali sebelum mencoba menduduki atol Vietnam di Laut China Selatan. “Namun, untuk negara lain seperti Thailand, itu hanyalah mengikuti tetangga,” ujarnya.
Pada tahun 2017, Thailand menandatangani kesepakatan dengan China untuk membeli tiga kapal selam kelas Yuan, tetapi pengembang kapal selam milik negara China tidak dapat memperoleh mesin diesel yang diperlukan dari Jerman karena embargo senjata Uni Eropa yang diberlakukan di Beijing. Sementara laporan mengatakan Angkatan Laut Thailand sedang berdiskusi dengan pabrikan China untuk kemungkinan mengganti motor, ada juga pembicaraan bahwa kontrak akan dibatalkan.
“Banyak angkatan laut di seluruh dunia ingin membeli kapal selam hanya karena mereka tidak menganggap diri mereka sebagai ‘angkatan laut yang tepat’,” papar Storey. “Sebenarnya, kapal selam adalah salah satu sistem angkatan laut yang paling kompleks dan mahal untuk dioperasikan, dan ini terkadang berarti angkatan laut tidak dapat menggunakannya secara efektif, mereka cuma menjadi simbol kekuatan daripada kapal perang yang serius.”
Sementara itu, Joshua Bernard Espeña, dari International Development and Security Cooperation (IDSC) di Manila, mengatakan bahwa dalam memperoleh kapal selam, Filipina harus mempertimbangkan mengapa dan bagaimana itu dapat mengatasi masalah keamanan eksternalnya. Menurut dia, secara kuantitatif, dua kapal selam hampir tidak dapat membuat perbedaan taktis, operasional, dan strategis. “Secara kualitatif, itu harus memperhitungkan apakah negara akan berperang sendiri atau dengan sekutu, dan siapa yang harus dilawan,” katanya.
“Perairan Asia Tenggara yang dangkal menimbulkan tantangan taktis dan operasional bagi angkatan laut, terutama dalam menjaga kemampuan siluman kapal,” lanjut dia. “Pengadaan beberapa kapal selam tidak akan membuat perbedaan besar, sedangkan mempertahankannya akan mahal karena pemeliharaan suku cadang dan pelatihan awak, sedangkan tindakan darurat bahaya seringkali menjadi tantangan.”