Oleh: Dicky Dwi Permana, S.Pd.
SMAN3 kota kediri
Wayang merupakan salah satu jenis seni tradisional yang masih populer hingga kini. Wayang tumbuh dan berkembang pada masyarakat Jawa sejak zaman prasejarah sampai saat ini, masih dikenal oleh masyarakat Indonesia. Dalam perjalanannya dari zaman ke zaman wayang mengalami perubahan akibat adanya perubahan dalam pemerintahan, politik, sosial budaya dan kepercayaan sesuai dengan perubahan yang terjadi didalam pikiran manusia.
Daya tahan perkembangan wayang yang luar biasa ini membuktikan bahwa wayang mempunyai fungsi dan peranan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Haryanto (1991:1), menyatakan bahwa fungsi dan peranan wayang tidaklah tetap, tergantung oleh kebutuhan, tuntutan dan penggarapan masyarakat pendukungnya.
Wayang Mbah Gandrung merupakan wayang krucil yang terbuat dari kayu cendana dan berasal dari desa Pagung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, Provinsi Jawa Timur. Masyarakat yang tinggal disekitar desa Pagung Kabupaten Kediri mayoritas memeluk agama Islam, tetapi pada zaman dahulu pernah mendapat pengaruh dari kebudayaan Hindu, yang masih percaya adanya unsur animisme dan dinamisme.
Untuk itu dalam penggolongan tersebut, antara yang menganut Islam taat (santri) dan Islam abangan dapat ditemui di beberapa wilayah Kediri. Salah satu tradisi kejawen yang masih banyak dilakukan pada masyarakat desa di Jawa khususnya pada daerah Kediri ialah bersih desa. Hal ini dengan adanya agenda ritual tahunan yang terkait dengan tradisi adat atau budaya Jawa, digelar dibulan Sura atau Muharam dalam kalender Hijiriah, desa Pagung Kabupaten Kediri selalu mengadakan bersih desa dengan mementaskan wayang Mbah Gandrung sebagai media pengruwatannya.
Berdasarkan fenomena tersebut wayang Mbah Gandrung menarik untuk diteliti karena di era modern ini di daerah Kediri masih terdapat orang yang mempercayai animisme dan dinamisme. Wayang Mbah Gandrung merupakan wayang tertua di Kediri sejak abad ke 17. Penelitian ini ditulis dengan mengagkat judul “Kajian Budaya Mistisisme Dalam Seni Wayang Mbah Gandrung di Kabupaten Kediri”.
Menurut Brandon (1970 : 35) menyatakan bahwa struktur pertunjukan wayang krucil merupakan unsur yang saling berhubungan. Unsur-unsur tersebut mempengaruhi pandangan dan pendengaran penonton, yaitu mencangkup gawangan, blencong, kothak, cempala, keprak dan wayang, serta gamelan.
Gawangan merupakan panggung wayang krucil yang dibuat dari kayu, hampir sama dengan gawangan yang terdapat pada Wayang Kulit Purwa, gawangan pada wayang krucil memiliki panjang sekitar 8 meter. Terbuat dari kayu jati yang diukir, perbedaan gawangan Wayang krucil dengan gawangan wayang kulit yakni tidak digunakannya kelir secara utuh atau kain putih panjang yang membentang mengikuti panjang gawangan.
Blencong adalah alat yang digunakan sebagai penerangan dalam pertunjukan wayang, Pada masa lalu blencong menggunakan minyak serta sumbu yang besar kecil apinya diatur dengan alat yang lazim disebut japit/sapit. Pada masa kini perkembangan blencong sudah sangat pesat, blencong tidak lagi, menggunakan sumbu serta minyak, namun menggunakan lampu yang dihubungkan langsung dengan arus listrik. Penggunaan blencong tidak selalu digunakan, bahkan jika pada pagelaran siang hari pagelaran wayang klithik tidak memerlukan blencong (Akad, wawancara, 14-01-2018).
Kothak dalam pertunjukan wayang adalah sebuah tempat berbentuk persegi panjang yang dibuat dari kayu, digunakan sebagai tempat penyimpanan wayang. Selain itu kotak juga berfungsi sebagai pendukung pakeliran. Lazimnya kothak berbahan dasar kayu suren, pemilihan kayu suren ini dengan pertimbangan kualitas kayunya yang tidak terlalu keras, sehingga dapat menghasilkan suara yang baik (merdu)
Cempala adalah salah satu perlengkapan pakeliran yang berbentuk stupa dihiasi dengan ukiran. Cempala dibuat dari kayu galih asem, kayu besi, atau kayu sawo. Fungsi cempala adalah memberi penguatan suasana yang dibentuk oleh dalang. Menentukan suasana melalui dhodhogan serta sebagai alat untuk mengendalikan jalannya karawitan pakeliran.
Keprak berupa kepingan logam berbentuk segi empat yang digantung di sisi luar kothak wayang, yang dibunyikan dengan cara menyepaknya dengan telapak kaki sebelah kanan. Keprak dan cempala memiliki hubungan yang sangat erat, mengingat keprak juga menentukan suasana serta memberikan kesan mantap bagi suasana pakeliran. Pada wayang krucil penataan keprak agak berbeda dengan wayangkulit.
Nama Mbah Gandrung bagi sebagaian orang di Kediri dan sekitarnya dianggap wayang mistis. Selain hanya ditampilkan di Bulan Suro (Muharram,red) dan bagi mereka yang punya ujar (nadzar,red), wayang kayu (krucil) ini terlahir dari sebuah bongkahan kayu yang terdampar di sungai pada saat terjadi banjir di dearah Pagung Kecamatan Semen Kabupaten Kediri sekitar abad 17 lalu. Hati-hati lho saat menyaksikan Wayang Mbah Gandrung, sampean bisa kuwalat jika macem-macem saat wayang digelar, lebih baik diam saja (Akad, wawancara, 14-01-2018).
Mungkin itulah gambaran mistis yang selalu disampaikan oleh orang yang menjadi pemerhati Wayang Mbah Gandrung kepada siapa saja yang baru kali pertama menyaksikan penampilan Wayang Mbah Gandrung. Selain memang tergolong mistis, Wayang Krucil Mbah Gandrung ini juga unik. Beberapa keunikan yang berhasil ditelusuri adalah, wayang ini terlahir dari bongkahan kayu jati yang hanyut saat terjadi banjir, kayu jati yang terdampar itu dibelah oleh orang mesterius setelah penduduk Pagung, gagal membelahnya seperti dituturkan secara turun temurun oleh Lamidi sang pewaris ketujuh Wayang Mbah Gandrung dari kakek buyutnya Demang Proyosono .
Wayang ini adalah peninggalan kakek buyut saya yakni Demang Proyosono, tokoh spritual dari Surakarta yang sedang melakukan topo/nyepi di Gunung Wilis. Wayang ini hanya boleh dibuka saat pementasan saja selain itu tidak boleh (Lamidi, wawancara, 14-01-2018).
Berdasarkan cerita masyarakat dan sesepuh desa Pagung, kisah keberadaan wayangMbah Gandrung bermula pada jaman dahulu ketika di desa Pagung terjadi hujanyang sangat deras. Derasnya air sungai di daerah Pagung pun meluap hingga kerumah penduduk. Pada saat itu juga terdapat sebatang kayu jati besar yang hanyutterbawa arus sungai, hingga akhirnya kayu tersebut berhenti di perkampungan warga.Masyarakat Pagung pun berusaha mengembalikan kayu itu ke sungai, namun setiapakan dihanyutkan kembali kayu itu seakan-akan tidak mau hanyut. Masyarakat punsegera bertindak untuk membawa kayu tersebut kepada Raden Jimbun Hadiningrat,seorang sesepuh yang membabad daerah Pagung untuk pertama kalinya.
Setelah diamati, maka beliau menyarankan untuk membawa kayu tersebut kepada ki demang Raden Proyosono. Demang adalah sebutan kepala daerah pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, sedangkan gelar raden yaitu gelar yang diberikan kepada kerabat keraton yang memiliki keturunan priyayi. Ki Demang pun memerintahkan untuk membelah dan menjadikan kayu tersebut sebagai bahan bangunan, untuk dijadikan sebagai kayu bakar. Anehnya tidak seorangpun dapat membelah kayu tersebut, hingga ki demang memutuskan untuk mengadakan sayembara. Barang siapa di antara masyarakat desa Pagung yang bisa membelah kayu tersebut, maka ia akan mendapatkan sebuah hadiah.
Ketika acara sayembara sedang berlangsung, datanglah seorang pemuda yang berasal dari puncak gunung Wilis mencoba untuk membelahnya. Pemuda tersebut berhasil membelah kayu jati, dan ternyata didalamnya terdapat dua buah wayang kayu yangmenggambarkan figur kesatria tampan dan seorang wanita cantik. (Wawancaranarasumber: mbah Akad, 15/01/2018). Setelah kayu terbelah, pemuda tersebutpergi sebelum ki Demang sempat memberikan hadiah. Ki Demang yang berasal dariketurunan keraton Surakarta tentu dapat merasakan keanehan tersebut, kemudianbeliau mendapat wangsit bahwa wayang kayu tersebut adalah gambaran dua orangsejoli yang sedang kasmaran / Gandrung ( R. Djoko Prakoso dan Achmad Baihaqi,2010:30). Selang beberapa hari ki Demang kembali mendapat petunjuk, bahwa tidaklama lagi akan mendapatkan tiga tokoh wayang baru. Satu wayang yang menyerupaisosok pemuda tampan yang mampu menghadapi permasalahan, satu lagi sebagaisenopati. Kedua wayang tersebut diberi nama Joko Luar dan Patih Sedono Popo,serta wayang yang terakhir adalah tokoh Semar.
Berbeda dengan tokoh Semar dalam wayang kulit, sosok wayang yang disebut Semar oleh masyarakat desa Pagung bentuk dan rupanya lebih menyerupai tokoh Togog. Seiring dengan berkembangnya waktu, pada saat ini terdapat penambahan jumlah wayang Mbah Gandrung yang totalnya mencapai 40 buah. Selain kelima wayang utama Mbah Gandrung tersebut, empat puluh wayang lainnya tidak mempunyai nama yang pasti. Apabila diamati dari segi visual wayang Mbah Gandrung ini termasuk jenis
wayang kayu / krucil, hal ini didasarkan pada lakon yang dimainkan dalam wayang Mbah Gandrung adalah cerita Damarwulan dan cerita Mahabartha.
Mistisisme Wayang Mbah Gandrung
Sebuah ritual dilakukan berdasarkan emosi keagamaan yangdimiliki, tentunya dilandasi dengan keyakinan akan tujuan dan manfaat yangdidapatkan. Menggunakan beragam alat pendukung sebagai sarana ritual, yaknisesaji dan mediator. Faktor terakhir dan yang terpenting adalah umat yangmenyelenggarakan dan menganutnya, karena apabila ritual tersebut tidak memilikiumat penganut maka lambat laun akan mengalami kepunahan. Rasa yakin, percaya,dan patuh terhadap yang telah diwariskan leluhur, menjadi satu tonggak pentinguntuk menjaga keberlangsungan ritual.
Emosi keagamaan menyebabkan manusia mempunyai sikap serba religiuntuk menggetarkan dan menggerakkan jiwa manusia. Emosi keagamaan inidipahami sebagai sikap kagum atau terpesona terhadap hal yang gaib serta keramatdan tidak dapat dijangkau oleh kemampuan akal manusia. Emosi keagamaan yangmuncul pada sikap masyarakat desa Pagung dan orang yang mempercayaikeberadaan wayang Mbah Gandrung merupakan sikap takut bercampur percayaterhadap kesakralannya. Komponen ini merupakan poin utama dari suatu gejala religiyang membedakan sistem religi berbeda dengan sistem sosial budaya yang ada dalammasyarakat.
Sistem keyakinan merupakan wujud dari pikiran atau gagasan manusia menyangkut keyakinan tentang sifat Tuhan, wujud aam gaib, terjadinya alam dan dunia, jaman akhirat, serta wujud dan ciri kekuatan sakti leluhur. Dalam kehidupan manusia puncak tertinggi dari sebuah religi adalah adanya ritus dan upacara, dimana kekuatan gaib dianggap dapat memenuhi segala kebutuhan dan tujuan hidupnya. (Koentjaraningrat, 2007: 69). Begitupun masyarakat desa Pagung, yang menggunakan wayang Mbah Gandrung sebagai wujud puncak religi atau keyakinannya. Secara kontekstual menjadi media aktualisasi, untuk menyampaikan harapan dan cita menyangkut kehidupan kepada hal yang bersifat gaib. Peran dan pengaruh wayang Mbah Gandrung dalam kehidupan sehari-hari masyarakat desa Pagung begitu besar, dan bukan sekedar sebuah sajian pertunjukan semata. Wayang Mbah Gandrung turut membentuk sistem keyakinan yang meliputi nilai, perilaku dan kepercayaan, mata pencaharian, serta pola pikir masyarakat setempat. Salah satunya adalah peran mitos dan aura magis yang dimiliki wayang Mbah Gandrung, yang tetap terjaga sejak awal kemunculannya hingga pada saat ini.
Arti kata sistem adalah perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitansehingga membentuk su atu totalitas. (Kbbi.web.id/sistem, diakses pada 11-3-18). Sistem ritus merupakan wujud aktifitas atau tindakan manusia dalam melaksanakankebaktian terhadap Tuhan maupun leluhur. Sistem ritus terdiri dari suatu kombinasiyang merangkaikan satu atau beberapa tindakan seperti berdoa, bersaji, makanbersama, prosesi. Dalam wayang Mbah Gandrung, sistem ritus yang terjadi adalahmeliputi segenap rangkaian persiapan ketika akan mementaskan wayang MbahGandrung. Terdiri dari rapat desa, penggotongan wayang dan gamelan, selametan,menyiapkan gawangan dan menata wayang di kelir, pertunjukan wayang, selametanusai pementasan, serta mengangkut wayang kembali ke desa Pagung.
Seperti yang dijelaskan oleh Soedarsono bahwa ciri khas dari suatu ritual
yang saling berkaitan. Diperlukan tempat pertunjukan terpilih, yang biasanya dianggap sakral. Diperlukan pemilihan hari serta saat terpilih yang biasanya juga dianggap sakral. Diperlukan pemain terpilih, biasanya mereka dianggap suci atau yang telah membersihkan diri secara spiritual. Diperlukan seperangkat sesaji, yang kadang-kadang banyak jenis dan macamnya. Tujuan lebih dipentingkan daripada penampilannya secara estetis. Diperlukan busana yang khas (R.M. Soedarsono, 2002: 126).