Prospek Metode ‘Beli Sekarang Bayar Nanti’ di Asia Kalah dari Dompet Digital

Metode pembayaran buy now, pay later (BNPL) atau beli sekarang, bayar nanti
Metode pembayaran buy now, pay later (BNPL) atau beli sekarang, bayar nanti - sociolla.com

SINGAPURA – Metode pembayaran ‘buy now, pay later’ (BNPL) atau beli sekarang, bayar nanti ternyata lebih sulit dijual untuk konsumen di Asia dibandingkan kawasan lainnya, meskipun awalnya investor antusias dengan tren tersebut. Menurut sebuah studi, adopsi BNPL di kawasan Asia-Pasifik, yang menawarkan kredit jangka pendek dan biasanya bebas bunga kepada pembeli, telah tertinggal dari metode pembayaran lain seperti dompet seluler dan digital.

Seperti dilansir dari Nikkei Asia, FIS, sebuah perusahaan penyedia perangkat lunak teknologi keuangan yang berbasis di AS, melaporkan bahwa adopsi BNPL di Asia-Pasifik hanya akan mencakup hingga 2% dari metode pembayaran berdasarkan nilai pada tahun 2025. Sebaliknya, Eropa diperkirakan akan melihat BNPL mencapai 12% dan Amerika Utara 9% untuk pembelian e-commerce pada tahun 2025, berdasarkan survei terhadap 46.000 konsumen di seluruh Asia-Pasifik, Eropa, Timur Tengah, Afrika, dan Amerika.

Bacaan Lainnya

Faktor utama lambatnya pertumbuhan BNPL adalah persaingan yang ketat dari opsi pembayaran yang ada. Di sektor ritel online dan offline Asia, BNPL hanya melakukan 2% pembayaran berdasarkan nilai di di Hong Kong, dibandingkan dengan 24% untuk dompet virtual. Sementara itu, di India, cuma 1% dibandingkan 25% untuk dompet seluler dan digital.

Menurut perusahaan data dan analitik GlobalData, India telah menggunakan dompet virtual secara besar-besaran. Segmen ini diperkirakan melebihi 4 triliun AS nilai pasar pada tahun 2025, dan secara bertahap menggantikan uang tunai dan kartu sebagai opsi pembayaran utama. “Pasar dompet seluler di India sedang dalam fase pertumbuhan tinggi karena dorongan pemerintah dan peningkatan infrastruktur penerimaan pembayaran seluler,” kata analis pembayaran senior GlobalData, Sowmya Kulkarni.

Di Asia Tenggara, laporan FIS memperkirakan pertumbuhan serupa untuk dompet virtual, yang ditawarkan oleh perusahaan seperti Grab hingga Gojek. BNPL, di sisi lain, belum mencapai penetrasi yang sama. Di Indonesia, tahun lalu hanya 3% penggunaan BNPL untuk pembayaran dalam e-commerce, dibandingkan dengan 39% untuk dompet virtual. Sementara itu, di Malaysia angkanya adalah 4% versus 16% dan 2% dibandingkan dengan 31% untuk dompet virtual di Filipina.

“BNPL tidak diproyeksikan untuk menyamai pangsa pasar dompet digital dalam periode perkiraan kami,” tutur Manajer Umum FIS’ Worldpay untuk e-commerce global di Asia-Pasifik, Phil Pomford. “Memang, selalu ada peluang BNPL bisa mengejar, tetapi peluang itu tipis dan jauh, mengingat dompet digital substansial yang dinikmati hingga saat ini.”

 

Pomford melanjutkan, serapan BNPL telah meningkat di tengah pandemi COVID-19, umumnya untuk transaksi e-commerce. Namun pada saat yang sama, metode pembayaran tandingan juga berkembang pesat, sehingga prestasi BNPL tampak kurang impresif. “Ketakutan terbesar yang diungkapkan konsumen atas BNPL adalah kemungkinan pengeluaran berlebihan, dengan 55% menyatakannya sebagai kekhawatiran,” tambah Pomford.

“Satu dari empat responden di lima wilayah, Singapura, AS, Inggris, Australia, dan Brasil, merasa bahwa angsuran BNPL sulit dilacak,” sambungnya. “Meskipun ada persaingan ketat, BNPL diharapkan menjadi metode pembayaran e-commerce yang berkembang paling cepat di Hong Kong, India, Malaysia, dan Singapura, dengan tingkat pertumbuhan tahunan gabungan lebih dari 40% hingga 2025.”

Prospek pertumbuhan yang cerah seperti itulah yang menarik beberapa investor. Bulan ini, In3, bisnis fintech BNPL Belanda, mengumumkan putaran pendanaan 11,1 juta AS dari Finch Capital. Bekerja sama dengan mitra layanan pembayaran, ia menawarkan konsumen kemampuan untuk membayar pembelian dalam tiga kali angsuran tanpa bunga dan komisi dan tanpa registrasi kredit. “Kami melihat permintaan untuk membayar pengeluaran yang lebih besar secara mencicil,” kata CEO In3, Hans Langenhuizen.

Perusahaan jasa profesional KMPG mencatat kesepakatan besar BNPL tahun lalu dalam sebuah laporan yang dirilis pada bulan Februari 2022. Misalnya, raksasa pembayaran, PayPal, mengakuisisi Paidy yang berbasis di Jepang sebesar 2,7 miliar AS pada paruh kedua tahun 2021. Sementara itu, perusahaan jasa keuangan yang berbasis di AS, Block (sebelumnya Square), mengumumkan akuisisi Afterpay asal Australia senilai 29 miliar dalam periode yang sama.

Namun, beberapa investor yang membeli prospek BNPL mengalami kerugian besar dan percaya pada konsolidasi industri untuk menghidupkan kembali harga saham yang terpukul. Australian Securities Exchange adalah rumah bagi 15 saham bayar kemudian, lebih banyak dari bursa lainnya. Namun, lebih dari 40 miliar Australia (28,78 miliar dolar AS) nilai pasar telah menguap dari sektor ini pada Februari kemarin.

Meski begitu, beberapa pemain BNPL tetap merogoh kocek konsumen. Minggu ini, pengecer e-commerce Asia Tenggara, Zalora, menyambut baik dengan perusahaan solusi fintech BNPL yang berbasis di Singapura, Pace Enterprise. Pace saat ini tersedia untuk pelanggan Zalora di Singapura dan Malaysia, dengan kedua perusahaan membanggakan hasil awal yang menunjukkan perkiraan kenaikan rata-rata 30% untuk BNPL.

“Untuk Pace, ini menandai tonggak sejarah utama dan memungkinkan kami mengakses kelompok pembeli e-commerce baru melalui Zalora,” papar CEO Pace, Turochas Fuad. “Dengan menawarkan transparansi, kontrol, dan fleksibilitas, kami adalah menawarkan berbelanja yang lebih berkelanjutan.”

Pos terkait