WASHINGTON – Presiden AS, Joe Biden, menegaskan komitmen mereka tetap ‘kuat’ untuk membela Filipina, termasuk di kawasan Laut China Selatan, setelah sebelumnya relasi sempat renggang. Kedua negara pun akan menyepakati pedoman kerja sama baru untuk kerja sama militer yang lebih tangguh, sekaligus meningkatkan kemitraan ekonomi, menggarisbawahi perubahan dramatis dalam hubungan AS-Filipina selama setahun terakhir.
Dilansir dari Nikkei Asia, saat menyambut kedatangan Presiden Filipina, Ferdinand Marcos Jr., di Gedung Putih, Biden mengatakan bahwa AS tetap memegang komitmen mereka untuk membela sekutunya, termasuk di Laut China Selatan. Ia menegaskan kembali Perjanjian Pertahanan Bersama tahun 1951 yang menyerukan AS untuk bertindak jika terjadi serangan bersenjata terhadap militer Filipina.
Sementara itu, Marcos menekankan pentingnya AS sebagai satu-satunya sekutu perjanjian negaranya di kawasan dengan situasi geopolitik paling rumit di dunia saat ini. “Wajar bagi Filipina untuk melihat satu-satunya mitra perjanjiannya di dunia untuk memperkuat dan mendefinisikan kembali hubungan yang kita miliki dan peran yang kita mainkan dalam menghadapi ketegangan yang meningkat di sekitar Laut China Selatan, kawasan Asia-Pasifik, dan Indo-Pasifik,” ujarnya.
Sebelumnya, di bawah Rodrigo Duterte, hubungan AS memburuk saat dia membuat Filipina menjauh dari mantan penguasa kolonialnya dan membangun hubungan yang lebih dekat dengan China. Marcos, yang menjadi presiden pada tahun lalu, lantas mencari hubungan yang hangat dengan AS dan China, yang bersaing untuk mendapatkan pengaruh di kawasan Asia-Pasifik.
Biden telah berinvestasi untuk merayu Marcos, yang masih menghadapi keputusan pengadilan AS terkait dengan kekayaan senilai 2 miliar dolar AS yang dijarah di bawah pemerintahan ayahnya. Washington membantu ayah Marcos melarikan diri ke pengasingan di Hawaii selama pemberontakan People Power tahun 1986, dan sebagai kepala negara, putranya kebal dari tuntutan AS.
Washington sekarang melihat Filipina sebagai kunci untuk setiap upaya melawan invasi Taiwan oleh China, yang mengklaim pulau itu sebagai wilayahnya sendiri. Manila baru-baru ini setuju untuk mengizinkan Negeri Paman Sam mengakses empat pangkalan militernya lagi di bawah Enhanced Defense Cooperation Agreement, tetapi kedua belah pihak belum mengatakan aset apa yang akan ditempatkan AS di sana.
Para ahli mengatakan Washington menganggap Filipina sebagai lokasi potensial untuk roket, rudal, dan sistem artileri untuk melawan serangan amfibi China di Taiwan. Namun, Marcos berujar kepada wartawan bahwa China telah setuju untuk membahas hak penangkapan ikan di Laut China Selatan dan juga bahwa dia tidak akan membiarkan Filipina menjadi ‘pos persiapan’ untuk aksi militer.
Pangkalan Filipina yang aksesnya diperoleh AS bulan lalu mencakup tiga yang berhadapan dengan Taiwan dan satu di dekat Kepulauan Spratly yang disengketakan di Laut China Selatan. China mengatakan ini dapat ‘memicu api’ ketegangan regional dan Washington seharusnya tidak mengambil peran dalam perselisihan yang jauh dari pantainya.
Biden sendiri adalah pejabat pertama yang menghubungi Marcos setelah pemilihannya dan telah memperkuat hubungan ekonomi dan militer di kawasan Indo-Pasifik sebagai landasan kebijakan luar negerinya. Menjelang KTT, anggota parlemen AS pun mengirim surat bipartisan kepada Biden yang memintanya untuk mengangkat apa yang mereka sebut ‘krisis’ hak asasi manusia yang memburuk di Filipina.
Sebelum berangkat ke Washington pada hari Minggu (30/4), Marcos berujar dia akan menegaskan kembali komitmen Manila untuk mendorong aliansi lama mereka sebagai instrumen perdamaian dan sebagai katalisator pembangunan di kawasan Asia-Pasifik. Dengan banyak orang Filipina yang frustrasi oleh tindakan China, termasuk pelecehan terhadap kapal dan nelayan Filipina, dukungan telah tumbuh untuk sikap yang lebih keras terhadap Beijing.