Jakarta – Yield curve atau kurva imbal hasil di pasar obligasi Amerika Serikat (AS) menunjukkan inverted atau terbalik. Ini dikhawatirkan bisa menyebabkan resesi atau penurunan aktivitas ekonomi di Negeri Paman Sam tersebut.
Dilansir dari South China Morning Post, Federal Reserve AS menaikkan suku bunga pada pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal bulan Maret 2022. Tak hanya itu, mereka juga memaparkan perkiraan inflasi dan tingkat kebijakan suku bunga. Ini dilakukan untuk mengatasi inflasi yang terjadi.
Saat ini, pasar internasional mengharapkan kenaikan suku bunga sebesar 50 basis poin (bps) di pertemuan Fed berikutnya pada awal Mei 2022. Ini meningkatkan kekhawatiran pasar bahwa pengetatan kebijakan yang agresif tidak hanya menurunkan inflasi, tetapi juga pertumbuhan ekonomi. Per jumat (1/4), imbal hasil obligasi pemerintah AS atau US treasury 2 tahun telah mencapai 2,44%. Ini terpaut 6 basis poin (bps) lebih tinggi daripada hasil US Treasury tenor 10 tahun di 2,38%.
Berdasarkan kutipan IDX Channel.com, pola inverted yield curve terjadi ketika imbal hasil obligasi pemerintah AS bertenor singkat menjadi lebih tinggi dari imbal hasil obligasi bertenor panjang. Peringatan atas kondisi yield curve yang terbaik memiliki rekam jejak yang cukup kuat dalam memprediksi resesi. Hal ini dapat dibuktikan dari delapan resesi terakhir AS, yakni sejak 1969.
“Jika yield curve sudah terbalik, itu salah satu leading indikator yang tidak pernah salah memprediksi resesi di Amerika,” kata Ekonom BNI sekuritas Damhuri Nasution di Jakarta (31/3).
Sebetulnya, pola inverted sudah terjadi pada beberapa pekan terakhir. Sebagai contoh, kurva yield US Treasury di 3 tahun dan 5 tahun pada 18 Maret 2022, dan yield US Treasury 5 tahun dan 30 tahun pada 28 Maret 2022.
Kondisi yield inverted berjangka seperti ini menjadi sinyal bahwa pelaku pasar lebih dominan memegang obligasi jangka pendek daripada panjang. Ini juga menandai ada risiko lebih besar dalam waktu dekat terkait perekonomian negara. Jika kurva hasil terbalik, maka diperkirakan akan timbul krisis dalam beberapa bulan ke depan. Ini yang membuat aset saham di negara AS rentan terhadap penurunan harga.
“Saat saya pelajari, biasanya yield curve-nya sudah inverted,” kata Damhuri. “Itu biasanya dampaknya akan terjadi sekitar setahun hingga 18 bulan ke depan. Dampak resesi yang terjadi di AS itu, sudah termasuk resesi akibat COVID-19.”
Untuk lebih meyakinkan pendapatnya, Damhuri juga mencermati petinggi bank sentral Amerika Serikat yang berpikir ulang untuk menaikkan suku bunga. Itu terjadi saat ancaman resesi telah terlihat.
“Kalau sudah ada tanda inverted yield curve, saya pikir para petinggi bank sentral as akan berpikir dua kali sebelum menaikkan suku bunga secara agresif,” kata Damhuri. “Kenapa? Karena ekonomi yang sudah krisis tidak mungkin harus ditekan dan diberhentikan.”