Jakarta – Nilai tukar mata uang Garuda dibuka melemah sebesar 11,5 poin ke posisi Rp14.276,5 per dolar AS di awal perdagangan pagi hari ini, Kamis (25/11). Kemudian, rupiah lanjut melemah 3,5 poin atau 0,02 persen ke Rp14.268,5/USD. Kemarin, Rabu (24/11), kurs rupiah ditutup terdepresiasi 7,5 poin atau 0,05 persen ke angka Rp14.265 per USD.
Sementara itu, indeks dolar AS yang mengukur pergerakan the Greenback terhadap enam mata uang utama terpantau naik. Pada akhir perdagangan Rabu atau Kamis pagi WIB, indeks dolar AS menguat 0,37 persen menjadi 96,853. Kenaikan dolar AS ini terjadi lantaran para pelaku pasar bertaruh bahwa federal reserve (The Fed) akan memperketat kebijakan moneter lebih cepat dibanding bank-bank sentral lainnya.
Pejabat The Fed telah berkontribusi terhadap pandangan yang lebih hawkish bahwa mereka bisa bertindak lebih cepat guna membendung kenaikan tekanan harga apabila inflasi tak moderat. Sedangkan Bank Sentral eropa (ecb) diprediksi masih akan dovish karena pertumbuhan di zona Eropa tertinggal.
Berdasarkan risalah pertemuan kebijakan yang dirilis pada Rabu (24/11) menyebutkan bahwa The Fed terbuka untuk mempercepat penghapusan program pembelian obligasi apabila inflasi di tingkat tinggi terus bertahan, serta mempercepat kenaikan suku bunga acuan.
“Penguatan dolar adalah refleksi dari sikap dovish yang ditunjukkan oleh kepemimpinan ECB, versus sedikit lebih banyak perhatian yang ditunjukkan oleh The Fed terhadap inflasi, jadi karena itu mungkin ada sedikit perbedaan dalam kebijakan,” ujar Lou Brien, seorang ahli strategi pasar di DRW Trading di Chicago, seperti dilansir Antara.
Rupiah sendiri hari ini diprediksi akan bergerak fluktuatif dan memiliki kecenderungan melemah. Menurut Direktur PT TRFX Garuda Berjangka, Ibrahim Assuaibi, salah satu faktor yang mendorong rupiah melemah adalah kenaikan dolar AS terhadap mata uang lainnya. Greenback menguat setelah pengangkatan kembali Jerome Powell sebagai Gubernur The Fed.
“Investor mengharapkan Jerome Powell akan mempercepat pengetatan moneter. Termasuk di dalamnya pengurangan aset dan kenaikan suku bunga untuk mengekang inflasi yang terus meningkat,” jelas Ibrahim, seperti dikutip dari Tempo.
Kemudian dari sisi internal, faktor yang juga memengaruhi gerak rupiah adalah Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada Kuartal III 2021 yang mencatatkan surplus sebesar 10,7 miliar dolar AS atau 1,49 persen terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB).