Penjualan Ritel AS Naik, Rupiah Masih Terjebak di Zona Merah

Rupiah - www.suara.com
Rupiah - www.suara.com

Jakarta – Nilai tukar rupiah dibuka melemah sebesar 58,5 poin atau 0,38 persen ke posisi Rp15.658 per dolar AS di awal perdagangan pagi hari ini, Kamis (17/11). Kemarin, Rabu (16/11), kurs mata uang Garuda berakhir 62 poin atau 0,40 persen ke level Rp15.599,5 per USD.

Bacaan Lainnya

Indeks dolar AS yang mengukur gerak the Greenback terhadap sekeranjang mata uang utama terpantau melemah. Pada akhir perdagangan Rabu atau Kamis pagi WIB, indeks dolar AS turun 0,06 persen menjadi 106,342, usai sebelumnya berada di level terendah 105,859. Pelemahan dolar AS terjadi walaupun didukung data penjualan ritel Amerika Serikat yang lebih kuat dari prediksi. Selain itu, para pelaku pasar juga tengah mencari petunjuk dari pernyataan The Fed mengenai suku bunga.

Data terbaru Amerika Serikat pada Selasa (15/11), menunjukkan bahwa indeks harga konsumen yang lebih dingin dari prediksi pekan lalu bulan hanya satu kali saja. Hal itu memicu ekspektasi bahwa Federal Reserve (The Fed) bisa memperlambat laju kenaikan suku bunga acuannya yang telah menyebabkan dolar AS menguat terhadap pound, euro, dan yen tahun ini.

Pada Rabu (16/11), Departemen Perdagangan AS melaporkan, penjualan ritel Oktober 2022 naik 1,3 persen dibanding perkiraan ekonom sebesar 1,0 persen, dengan perkiraan mulai dari penurunan 0,1 persen sampai lonjakan 2,0 persen.

“Banyak orang terpaku pada apa yang akan kita lihat mengenai apa yang akan dilakukan Fed dan ECB,” ujar analis pasar senior Edward Moya di Oanda di New York, seperti dilansir dari Antara. “Angka penjualan ritel yang menunjukkan ada lebih banyak ketahanan dalam ekonomi dapat membuat argumen bahwa Fed dapat dibenarkan dalam mempertahankan sikap agresifnya terhadap inflasi,” imbuhnya.

Di sisi lain, rupiah berpeluang kembali melemah pada perdagangan hari ini. Menurut Analis DCFX Futures Lukman Leong, tekanan berasal dari adanya kekhawatiran mengenai potensi melambatnya pertumbuhan ekonomi. Data neraca perdagangan terbaru menunjukkan kenaikan impor yang jauh lebih kecil dibanding perkiraan, walaupun secara keseluruhan mencatatkan besar. Kenaikan impor yang kecil tersebut menunjukkan lemahnya permintaan.

Lonjakan kasus Covid-19 juga dikhawatirkan menekan pertumbuhan ekonomi. “Pelaku pasar turut mengantisipasi rapat (BI) yang diperkirakan akan menaikkan suku bunga 50 basis points (bps),” jelas Lukman, seperti dikutip dari Kontan.

Pos terkait