Pada Januari 2020, Indonesia, di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, memulai gerakan penting dengan melarang ekspor bijih nikel mentah. Langkah ini kemudian diperluas dengan melarang ekspor bauksit, bijih untuk membuat aluminium, pada Juni tahun ini. Daftar larangan akan bertambah tahun depan dengan penambahan lima item lain, termasuk konsentrat tembaga, timah, dan emas.
Menurut Tempo, ekspor terkait nikel, yang bernilai 17 triliun rupiah pada 2017, meningkat 19 kali lipat menjadi 323 triliun rupiah tahun lalu. Kenaikan ini terjadi karena pergeseran item ekspor dari bijih mentah ke produk dengan harga unit lebih tinggi seperti feronikel dan nikel matte.
China telah memainkan peran penting dalam meningkatkan kapasitas pengolahan nikel Indonesia, dengan perkiraan bahwa bisnis China memiliki saham di 70% peleburan nikel negara ini.
Strategi Indonesia tidak hanya terbatas pada pengolahan. Dengan nikel sebagai bahan kunci dalam baterai kendaraan listrik (EV), Indonesia telah menarik perusahaan asing untuk berinvestasi. Hyundai Motor dan LG Energy Solution dari Korea Selatan telah memulai pembangunan pabrik sel baterai di Indonesia, begitu juga dengan CATL dari China, pembuat baterai EV terbesar di dunia. Hyundai Motor bahkan telah melangkah lebih jauh dengan meluncurkan produksi EV dekat Jakarta.
Indonesia adalah produsen nikel terbesar di dunia dan memiliki cadangan terbesar. Survei Geologi AS memperkirakan bahwa negara ini menyumbang hampir setengah dari produksi global pada 2022.
“Bonus demografi kita akan hilang pada 2030. Dalam sejarah peradaban negara yang saya lihat, kesempatan [datang] hanya sekali,” kata Jokowi dalam pidato Mei tentang visi negara untuk menjadi kekuatan industri besar, sebagaimana dikutip Nikei asia. Ia menekankan bahwa banyak negara amerika Latin yang mencapai status negara berpenghasilan menengah pada 1970-an masih tetap berkembang karena gagal “mengambil keuntungan dari kesempatan pada waktu itu.”
“Selama bertahun-tahun, kita selalu mengekspor bahan mentah. Ini adalah kesalahan yang tidak boleh kita ulangi,” tambah Jokowi.
Konstitusi Indonesia menetapkan bahwa sumber daya alam harus digunakan untuk “kesejahteraan rakyat,” tetapi sering gagal memanfaatkannya untuk pengembangan ekonomi.
Setengah abad lalu, krisis minyak 1973 dan 1979 menjadi berkah bagi Indonesia, produsen minyak utama di Asia. Namun, setelah berakhirnya pemerintahan Suharto pada 1998 dan dimulainya demokratisasi, penerapan kebijakan top-down menjadi sulit.
Ketika muncul boom sumber daya pada awal abad ke-21, Indonesia gagal memanfaatkannya. Meskipun ekspor bahan mentah seperti minyak sawit dan batu bara meningkatkan pertumbuhan, sektor manufaktur tidak menerima banyak investasi.
“Setelah runtuhnya rezim Suharto, Indonesia tidak beralih ke fase pasca-industri tetapi malah kembali ke de-industrialisasi,” kata Miki Hamada dari JETRO.
Susilo Bambang Yudhoyono, yang berkuasa dari 2004 hingga 2014, menyadari situasi ini. Pada 2009, ia mengesahkan undang-undang baru yang mewajibkan penambahan nilai pada sumber daya sebelum diekspor.
Pemerintahan Jokowi, yang dilantik pada 2014, melanjutkan kebijakan Yudhoyono. Namun, mereka harus melonggarkan larangan pada 2017 setelah menyadari bahwa negara tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk mengolah sumber daya. Setelah kapasitas pengolahan cukup, Jokowi kembali melaksanakan larangan ekspor bijih nikel pada 2020.
Larangan ekspor ini telah menimbulkan perselisihan perdagangan. Uni Eropa menggugat Indonesia atas pelanggaran perjanjian Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dan pada November tahun lalu, panel penyelesaian sengketa WTO memutuskan mendukung UE. Indonesia segera mengajukan banding ke badan banding WTO.
Dalam laporan Juni, Dana Moneter Internasional (IMF) menyambut baik “ambisi Indonesia untuk meningkatkan nilai tambah dalam ekspor, menarik investasi langsung asing, dan memfasilitasi transfer keterampilan dan teknologi,” tetapi menyarankan untuk “mempertimbangkan menghapus larangan ekspor dan tidak memperluas larangan pada komoditas lain.”
Dalam perspektif Nikkei, kebijakan nasionalisme sumber daya Indonesia tidak bisa diremehkan, karena dapat mendorong tindakan serupa dari negara berkembang lainnya. Namun, jumlah negara Global South yang dapat mengikuti jejak Indonesia mungkin terbatas. Konflik saat ini atas bahan strategis tidak hanya mengungkap “masalah Utara-Selatan” dari eksploitasi negara berkembang oleh kekuatan industri, tetapi juga “masalah Selatan-Selatan,” yaitu kesenjangan yang meningkat antara negara berkembang dengan sumber daya dan tanpa sumber daya. (nik)