Meski sekarang bermunculan alat musik modern, instrumen musik tradisional seperti gamelan masih tetap eksis menghibur masyarakat. Ini salah satunya berkat sejumlah orang yang terus melestarikan alat musik tersebut, seperti Arik Sugianto. Penggagas Bengkel Seni Pecute E Wong Malang Galeri ini dalam kesehariannya membuat gamelan, yang ternyata dapat menembus pasaran internasional.
Arik Sugianto menggagas Bengkel Seni Pecute E Wong Malang Galeri sejak tahun 2012 lalu. Di bengkel seni miliknya yang berlokasi di Lesanpuro Gg. 12 Kedungkandang, Kota Malang itu, Arik mengadakan pagelaran dan kegiatan lain untuk para pegiat seni kuda lumping. “Awalnya, saya memang suka dengan kesenian kuda lumping dan juga memiliki kemampuan memperbaiki alat musik tradisional yang rusak, seperti bonang, kendang, peking, gong, dan beberapa lainnya,” ungkapnya.
Pria kelahiran 24 Juni 1988 ini mengaku, kemampuan membuat alat musik tradisional dimilikinya secara otodidak. Dia tidak segan belajar dan melakukan banyak riset untuk bisa memahami satu per satu alat musik tradisional buatannya. Bahkan, untuk memperkaya pengalaman, dia pun menyempatkan diri menghadiri berbagai pagelaran seni tradisional di setiap daerah. “Setiap ada acara seni di mana saja, saya berusaha ikut,” sambung Arik.
Untuk memproduksi gamelan, Arik memakai bahan plat besi, kuningan, dan lonjoran batang kayu Jawa seperti kayu taon dan mahogani. Selain alat musik tradisional Jawa, Arik pun mampu mengerjakan alat musik etnik dari Papua dan alat petik khas Kalimantan, yakni sapek. Siapa sangka, kendang gaya Malangan buatan Arik bahkan mampu dipasarkan hingga Australia. “Harga gamelan bervariasi, mulai Rp45 juta sampai Rp65 juta untuk bahan besi, dan Rp135 juta hingga Rp165 juta untuk bahan kuningan, sedangkan untuk kendang mulai harga Rp1,5 juta sampai Rp6,5 juta per unit,” paparnya.
Ke depan, Arik berharap mampu mengembangkan alat musik tradisional gamelan tak hanya untuk pagelaran seni, tetapi juga dibuat dengan desain khusus sebagai ornamen interior perhotelan dan souvenir. Terlebih, peluang tersebut masih minim dikerjakan oleh para pegiat seni lainnya. “Tujuannya tidak lain untuk melestarikan kesenian alat musik tradisional, khususnya di Kota Malang,” pungkas Arik.
Masih di wilayah Jawa Timur, Saiful, warga Tulungagung, juga sudah eksis membuat alat musik tradisional angklung sejak 2000 silam. Angklung buatan Saiful dilirik pasar, terutama kalangan sekolah yang digunakan untuk kegiatan ekstrakurikuler. Tak hanya berasal dari Tulungagung, seringkali dia mendapat pesanan hingga Gresik, Sidoarjo, Malang, Nganjuk, dan Kediri. “Saya berharap nantinya bisa berkembang dengan membuat alat musik dari bambu yang lain. Saya senang jika di sekolah anak-anak mengikuti ekskul musik tradisional,” tutur Saiful.
Pria berambut ikal itu mengaku, pada 2001 hingga 2002, sempat berhenti membuat angklung. Pasalnya, ia kesulitan dalam membuat bentuk dan menyelaraskan nada. Menurutnya, dalam menyelaraskan nada, diperlukan keterampilan dalam bermusik.
Tak hanya menyelaraskan nada, salah satu kesulitan yang dialaminya adalah bahan baku. Pria 43 tahun ini mengungkapkan, pada dasarnya setiap jenis bambu dapat dimanfaatkan. Namun, bambu yang sudah tua dan kering menjadi yang paling ideal. Jika tidak, maka tidak dapat menghasilkan bunyi yang merdu. “Paling bagus itu bambu wulung dan bambu apus. Sebelum dibuat, bambu-bambu ini dijemur di tempat yang kering. Tidak terkena sinar matahari langsung, tetapi jangan lembap,” tutupnya.