jakarta – Kelangkaan tampon, sejenis penampung darah yang biasa dipakai wanita yang mengalami menstruasi, ternyata berdampak pada laju inflasi di AS. Stok tampon yang menipis memengaruhi wanita dewasa dan anak perempuan berpenghasilan rendah yang mungkin sudah menghadapi hambatan untuk mendapatkan produk menstruasi berkualitas tinggi yang memadai.
“Tampaknya tampon adalah korban lain dari masalah rantai pasokan yang telah ada sejak awal pandemi, dan sekarang diperparah oleh kenaikan harga bahan baku yang digunakan dalam tampon, yakni kapas, rayon, dan plastik,” papar Marni Sommer, pakar kesehatan masyarakat dan menstruasi di Universitas Columbia, dilansir dari The Philadelphia Inquirer. “Selain itu, ada dampak lockdown baru-baru ini di China pada produksi, serta masalah staf umum di pabrikan di AS.”
Meski belum diketahui secara pasti bagaimana kekurangan saat ini memengaruhi wanita, tetapi organisasi yang membantu perempuan yang mengalami kesulitan mengakses produk menstruasi, seperti tunawisma dan wanita berpenghasilan rendah, mengaku bahwa hal itu secara langsung memengaruhi mereka. Sumbangan tampon terus berkurang, yang mempersulit pendistribusian produk-produk ini ke kelompok-kelompok rentan.
“Kekurangan dapat memengaruhi wanita yang menggunakan tampon lebih dari produk menstruasi lainnya, seperti pembalut atau cangkir menstruasi,” sambung Sommer. “Wanita yang mengalami pendarahan yang lebih berat akan terpukul lebih keras oleh kenaikan biaya karena mereka mungkin membutuhkan lebih banyak tampon untuk setiap siklus menstruasi.”
Yang paling terpengaruh, sambung Sommer, adalah wanita yang tidak mampu membayar lonjakan harga. Kekurangan, di samping dampak inflasi, kemungkinan akan memperburuk apa yang disebut ‘periode kemiskinan’. “Bahkan, sebelum kenaikan harga (tampon) baru-baru ini, banyak wanita di AS yang telah terkena dampak periode kemiskinan,” imbuh Sommer.
“Hilangnya pendapatan karena pandemi merupakan prediktor kuat ketidakamanan produk menstruasi, terutama bagi wanita dengan pendapatan rendah atau pendidikan formal yang kurang,” ulas studi yang dilakukan Sommer dan rekan-rekannya di City University of New York School of Public Health tahun 2021 lalu. “Responden survei kami menunjukkan peningkatan tantangan dalam hal mengakses produk menstruasi.”
Di samping beban keuangan, ada stigma dan stres yang berkelanjutan bagi perempuan yang tidak dapat mengakses atau membeli produk menstruasi. Ketidakamanan produk menstruasi tersebut dapat memengaruhi kepercayaan diri seorang wanita untuk menjalani kehidupan sehari-hari dan menimbulkan kecemasan.
“Kami juga menemukan bahwa wanita disarankan menggunakan berbagai pengganti ketika tidak mampu membeli atau mengakses produk menstruasi. Ini termasuk menggunakan popok, kaus kaki, dan kain sebagai pengganti produk menstruasi seperti pembalut dan tampon,” lanjut Sommer. “Ini sekarang terjadi di AS, tetapi banyak wanita malu untuk membicarakannya.”
Periode kemiskinan dan kekurangan tampon juga membuat perempuan harus menggunakan produk dengan kualitas yang lebih rendah. Mereka mungkin bisa mendapatkan tampon yang lebih murah, tetapi produk itu mungkin tidak berfungsi dengan baik. Menggunakan produk berkualitas lebih rendah juga mungkin berarti seorang wanita harus membeli lebih banyak lagi.
“Masalah kualitas ini muncul dalam sebuah penelitian yang saya ikuti dengan melihat populasi tunawisma,” imbuh Sommer. “Responden mengatakan bahwa produk yang tersedia di tempat penampungan atau di penyedia layanan, seringkali hasil donasi, tidak berkualitas tinggi. Yang lain menggambarkan tantangan kualitas produk serupa bagi mereka yang dipenjara.”
Sebagai alternatif yang lebih baik, Sommer mengatakan, perempuan bisa menggunakan pembalut tradisional. Ada pula menstrual cup, yang diklaim ramah lingkungan, tetapi memang tidak setiap wanita merasa nyaman dengan ide memasukkan cangkir, apalagi biaya di muka bisa lebih tinggi. “Untuk wanita yang terbiasa menggunakan tampon, pembalut mungkin merupakan pengganti yang paling mudah,” pungkas Sommer.