TOKYO/NEW DELHI – Ketika perang antara Rusia dan Ukraina masih berkecamuk dan Beijing harus menghadapi kemungkinan kebangkitan Covid-19 yang besar, India diam-diam meningkatkan profil geopolitik mereka dan berusaha menyaingi atau bahkan mengalahkan China. Meski demikian, kebangkitan Negeri Sungai Gangga mungkin bukan kabar baik bagi negara-negara Barat.
Seperti dilansir dari Nikkei Asia, India menunjukkan ambisinya untuk memainkan peran lebih besar dalam urusan dunia selama Voice of the Global South Summit pada 12-13 Januari lalu. Menurut pemerintah India, 125 negara berkembang ikut serta dalam konferensi tersebut, membahas berbagai masalah dalam 10 sesi, masing-masing berfokus pada bidang kebijakan tertentu. “Suara Anda adalah suara India. Tujuan kami adalah untuk memperkuat ‘Suara Dunia Selatan’,” ujar Perdana Menteri India, Narendra Modi.
Mereka juga berusaha menggunakan Kepresidenan Kelompok 20 untuk menyuarakan ketidakpuasan negara-negara berkembang, yang banyak di antaranya menderita karena harga pangan dan energi yang lebih tinggi serta dampak pemanasan global dan ketegangan geopolitik. Negara-negara maju dikatakan sebagian besar bertanggung jawab atas masalah-masalah tersebut, tetapi merekalah yang paling menderita.
Ambisi India untuk memimpin ‘Global South’ mencerminkan rasa percaya diri yang tumbuh. Dengan populasi melebihi 1,4 miliar penduduk, mereka berada di jalur untuk menyalip China sebagai negara terpadat dunia. Pada 2022, India juga kemungkinan mengungguli Inggris dalam hal produk domestik bruto (PDB). Mereka pun diperkirakan akan menyusul PDB Jerman pada 2025 dan Jepang pada 2027 untuk menjadi ekonomi terbesar ketiga. Modi telah berjanji untuk menjadikan India sebagai negara maju pada tahun 2047, ketika merayakan ulang tahun kemerdekaan ke-100.
Pertumbuhan ekonomi India didorong oleh tren global menuju diversifikasi rantai pasokan yang muncul dari persaingan AS-China yang semakin intensif dan pandemi. Dengan potensi pasar yang sangat besar, Apple telah mulai merakit iPhone 14 terbaru di India, memindahkan sebagian produksi dari China dan lokasi lain. Foxconn juga telah bekerja sama dengan Vedanta, konglomerat sumber daya alam India, untuk bersama-sama membuat semikonduktor di India.
India juga merupakan sumber utama bakat bisnis dan politik terkemuka. Industri teknologi AS didukung oleh banyak pakar teknologi kelahiran India, termasuk Satya Nadella, ketua dan kepala eksekutif Microsoft, dan CEO Alphabet, Sundar Pichai. Sementara itu, politisi Barat terkenal dengan latar belakang India termasuk Wakil Presiden AS, Kamala Harris, dan Perdana Menteri Inggris, Rishi Sunak.
Meski demikian, upaya New Delhi untuk meningkatkan profil global mereka tidak selalu berhasil. Kira-kira setahun setelah pandemi dimulai, mereka meluncurkan dorongan ekspor untuk vaksin buatan dalam negeri. Namun, tiba-tiba menghentikan program tersebut setelah dilanda wabah Covid-19 besar-besaran di dalam negeri, membuat kesal banyak negara penerima.
Kredensial demokrasi India juga dipertanyakan karena gagal mengecam invasi Rusia ke Ukraina. Mereka telah mengkritik kebijakan ekspansif China sejak bentrokan berdarah di perbatasan Himalaya dengan negara itu pada tahun 2020. New Delhi terus mengecam Beijing karena mengancam integritas dan kedaulatan teritorialnya. Di sisi lain, negara ini menolak untuk bergabung dengan Barat dalam menegur invasi Moskow meskipun jelas melanggar aturan hukum internasional.
Keengganan India untuk bekerja sama telah sangat mencemaskan negara-negara Barat. Mereka tahu Rusia dan India memiliki sejarah aliansi yang panjang, tetapi masih sulit untuk memahami mengapa sebuah negara berbagi banyak perbedaan. Musim semi lalu, para pemimpin, termasuk Perdana Menteri Jepang, Fumio Kishida, Perdana Menteri Inggris saat itu, Boris Johnson, dan Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, mengunjungi India. Presiden AS, Joe Biden, juga mengadakan pertemuan online darurat dengan Modi. Mereka mencoba membujuk India untuk bergabung melawan Rusia.
“Modi memang sempat mengejutkan semua orang ketika dia menyerang Presiden Rusia, Vladimir Putin, atas perangnya di Ukraina pada pertemuan puncak yang diadakan di sela-sela konferensi internasional di Uzbekistan,” ujar penulis senior Nikkei Asia, Toru Takahashi. “Namun, terlalu dini untuk melihat kata-kata keras Modi sebagai akibat tekanan Barat. Faktanya, India ikut latihan militer Rusia pada bulan Agustus dan September dan abstain dari pemungutan suara PBB untuk mengutuk ‘aneksasi ilegal’ Moskow atas empat wilayah timur dan selatan Ukraina.”
Setelah invasi, India memperluas impor minyak dari Rusia, menjadikan Negeri Beruang Merah sebagai pemasok minyak terbesar mereka, menggantikan Irak dan Arab Saudi. New Delhi telah menolak untuk mematuhi batas harga minyak Rusia yang telah disepakati oleh negara-negara Kelompok Tujuh sebagai bagian dari sanksi ekonomi terhadap Moskow. Mungkin benar bahwa India tidak secara aktif mendukung perang Rusia, tetapi tidak berbuat banyak untuk membantu menengahi kesepakatan damai.
Meski begitu, hubungan India dengan Barat belum rusak parah. Sebaliknya, negara itu tampaknya telah meningkatkan kehadirannya dalam urusan global karena negara-negara Barat menjadi lebih berdamai dengan New Delhi. “Begitu mereka menyadari bahwa mereka tidak akan dapat membawa India ke kamp mereka, AS, Eropa, dan Jepang mengubah taktik untuk menghindari mendorongnya ke sisi lain,” kata profesor di Akademi Pertahanan Nasional Jepang, Toru Ito.
Tidak ada keraguan bahwa fokus strategi geopolitik India saat ini adalah untuk melawan ekspansi China. Sebuah buku yang diterbitkan oleh Menteri Luar Negeri India, Subrahmanyam Jaishankar, pada tahun 2020 lalu menawarkan wawasan berharga tentang pemikiran strategis negara tersebut. Dalam ‘The India Way: Strategies for an Uncertain World’, ia menulis, “kebijakan luar negeri India memikul tiga beban besar dari masa lalunya, yang membagi wilayah yang dikuasai Inggris menjadi India dan Pakistan.” Ini, kata dia, mengurangi bangsa, baik secara demografis maupun politik, dan memberi China lebih banyak ruang strategis di Asia.
“Dapat dikatakan bahwa persepsi Barat tentang India sebagai anggota bloknya cacat dalam dua hal,” sambung Takahashi. “Pertama, India telah memperluas hubungan strategisnya dengan demokrasi Barat melalui Quad dan kerja sama dengan Eropa untuk melawan dorongan angkatan laut China. Namun, ketika menghadapi upaya China untuk meningkatkan pengaruhnya di negara-negara seperti Pakistan, Afghanistan, dan Myanmar, hubungan strategis India dengan Barat tidak banyak membantu.”
Kedua, negara-negara Barat telah keliru menilai India sedemokratis mereka. Pemerintah Modi telah mengambil serangkaian langkah untuk menekan agama minoritas di negara tersebut. Pada Agustus 2019, ia mencabut otonomi konstitusional negara bagian Jammu dan Kashmir untuk memperketat cengkeramannya atas wilayah tersebut. Ia juga telah memberikan kewarganegaraan kepada Hindu ilegal dan imigran lain dari warga Muslim Afghanistan, Bangladesh, dan Pakistan, sambil mencoba untuk mengecualikan Muslim dari daftar warga negaranya.
Di bawah Modi, India hampir kehilangan statusnya sebagai negara demokrasi karena sangat menyusutnya ruang untuk media, masyarakat sipil, dan oposisi, demikian menurut Laporan Demokrasi pada tahun 2020 oleh Institut V-Dem yang berbasis di Swedia. Pada tahun 2021, India diturunkan dari demokrasi elektoral menjadi otokrasi elektoral.
“Sedikit banyak, Voice of the Global South Summit mengingatkan pada Konferensi Bandung 1955, sebuah pertemuan negara-negara Asia dan Afrika yang diselenggarakan di Indonesia,” imbuh Takahashi. “Namun, tidak seperti pertemuan di Bandung, yang diselenggarakan melalui kerja sama antara Perdana Menteri India saat itu, Jawaharlal Nehru, dan Perdana Menteri China saat itu, Zhou Enlai, Global South diadakan oleh India sendiri. Fakta bahwa lebih dari 120 negara ikut serta dalam acara baru-baru ini menandakan kekuatan demografis dan politik India yang semakin besar.”
Takahashi melanjutkan, tidak seperti China, India bangga menjadi ‘negara demokrasi terbesar di dunia’, tetapi tindakannya dalam beberapa tahun terakhir tampaknya menunjukkan bahwa negara itu menjauh dari demokrasi saat kekuatannya tumbuh. Jika abad ke-21 ternyata adalah era India, bukan China, dunia akan menemukan dirinya berhadapan dengan negara adidaya yang tidak kalah merepotkannya.