BERLIN – Pada Rabu (30/11) kemarin, Jerman secara resmi memutuskan untuk meninggalkan Energy Charter Treaty (Perjanjian Piagam Energi), yang mengikat anggotanya selama 20 tahun. Pasalnya, perjanjian tersebut dinilai menghambat upaya untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil untuk perubahan iklim yang lebih baik, memungkinkan perusahaan menuntut kompensasi saat pabrik mereka ditutup.
Seperti diwartakan Deutsche Welle, perjanjian tersebut, yang memiliki lebih dari 50 penandatangan, dirancang untuk mengamankan pasokan energi. Namun, dikritik karena menghambat upaya untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, karena menciptakan alasan kompensasi untuk penutupan pabrik. “Energy Charter Treaty di masa lalu telah terbukti sebagai penghalang perubahan,” ujar Menteri Ekonomi Jerman, Robert Habeck.
Hampir senada, wakil pemimpin kelompok Parlemen Hijau di Bundestag Jerman, Julia Verlinden, mengatakan bahwa perjanjian itu ‘tidak masuk akal’. Menurut dia, pada saat krisis iklim, tidak masuk akal jika perusahaan dapat menuntut keuntungan yang hilang dari investasi fosil dan kompensasi atas penghentian penggunaan batu bara dan nuklir.
Sekretaris Negara Parlemen di Kementerian Ekonomi Jerman, Franziska Brantner, sempat mengatakan pada awal November lalu bahwa keputusan itu adalah bagian dari komitmen Berlin untuk terus menyelaraskan kebijakan perdagangan dengan perlindungan iklim. Pemerintah koalisi Jerman lantas mengumumkan rencana untuk meninggalkan perjanjian itu pada 11 November.
Italia, Prancis, Polandia, Belanda, dan Spanyol juga telah mengumumkan penarikan mereka. Negara-negara Uni Eropa lainnya yang telah meninggalkan kesepakatan mengatakan bahwa perjanjian tersebut tidak sesuai dengan komitmen mereka terhadap deklarasi Paris 2015. Habeck mengatakan, penarikan itu berarti Berlin tidak akan berpartisipasi dalam proses reformasi perjanjian.
Uni Eropa sejauh ini gagal membuat anggota lain menyetujui amandemen yang diusulkan. Parlemen Eropa baru-baru ini memilih untuk meminta cabang eksekutif blok tersebut untuk mengoordinasikan penarikan negara-negara anggota dari perjanjian tersebut. Energy Charter Treaty berisi klausul yang mengikat anggota pada ketentuannya selama 20 tahun jika terjadi penarikan, yang disebut Habeck sebagai ‘berita pahit’.
Pengadilan Belanda pada Rabu waktu setempat memutuskan bahwa perusahaan energi Jerman, RWE dan Uniper, tidak dapat menerima miliaran euro sebagai kompensasi atas hilangnya keuntungan akibat larangan Belanda atas pembangkit listrik tenaga batu bara mulai tahun 2030 dan seterusnya. Karena Energy Charter Treaty terus berlaku selama 20 tahun setelah negara-negara keluar, kedua perusahaan mungkin berhak atas kompensasi di bawah proses arbitrase internasional yang akan selesai tahun depan.
“Kami memuji keputusan Jerman untuk meninggalkan perjanjian ‘beracun ini’,” tandas pakar kebijakan perdagangan dan investasi di CAN Eropa, Cornelia Maarfield, dikutip dari Clean Energy Wire. “Penarikan Uni Eropa dari Energy Charter Treaty menjadi tak terelakkan. Perhimpunan tidak dapat tetap dalam kesepakatan yang ditolak oleh semua anggota terbesarnya sebagai penghambat kebijakan iklim.”