Jepang Tutup Kedatangan Asing, Pekerja dari Indonesia dan Filipina Setia Menunggu

Jepang Tutup Kedatangan Asing - time.com
Jepang Tutup Kedatangan Asing - time.com

TOKYO/JAKARTA – Pada pertengahan Januari 2022, pemerintah Jepang memutuskan untuk memperpanjang larangan kedatangan turis asing sebagai upaya untuk menghentikan penyebaran Covid-19. Meskipun dikritik banyak pihak karena dinilai tidak efektif dalam menekan penyebaran internasional dan menambah beban ekonomi, para pelamar dari negara asing yang sudah lulus tes, termasuk Indonesia dan Filipina, tetap bersabar menunggu izin dibuka.

Bacaan Lainnya

Seperti dilansir dari Nikkei Asia, pemerintah Jepang memperkenalkan status kependudukan ‘pekerja terampil tertentu’ pada April 2019 lalu untuk warga negara asing yang bersedia bekerja di salah satu dari 14 industri. Tes kecakapan telah dilakukan di delapan negara Asia di luar Jepang, dan jumlah pelamar yang berhasil telah melampaui 23 ribu. Pelamar yang berhasil didominasi dari Indonesia, dengan angka mendekati 13 ribu, dan Filipina yang mengirimkan sekitar 5.500 orang. Namun, sebagian besar dari mereka hingga saat ini belum bisa masuk ke Jepang sebagai pekerja magang.

Pasalnya, Jepang sudah menutup perbatasan untuk warga negara asing pada 30 November 2021 lalu, tiga minggu setelah larangan serupa yang memblokir pelancong bisnis asing, pelajar, dan trainee praktek kerja dicabut pada 8 November 2021. Kemudian, pada pertengahan Januari 2022, pemerintah mengumumkan perpanjangan larangan kedatangan asing hingga akhir 2022 sebagai upaya untuk menghentikan penyebaran varian .

Pembatasan masuk Jepang telah dikritik oleh pelancong asing yang menunggu untuk masuk sejak pecahnya Covid-19. Beberapa tanggapan online mengecam keputusan pemerintah, sedangkan yang lain berpendapat bahwa pekerjaan dan pendidikan bukanlah pariwisata. Satu posting di akun berita imigrasi bahkan membandingkan Jepang dengan Korea Selatan, menyebutkan Negeri Ginseng tidak pernah memblokir visa untuk pelajar internasional.

Tidak cuma publik luar, beberapa bisnis Jepang juga menunjukkan penentangan terhadap penutupan negara itu. Hiroshi Mikitani, CEO Rakuten, dalam Twitter mengkritik tentang batas masuk yang ketat, membandingkannya dengan kebijakan nasional Keshogunan Tokugawa ratusan tahun yang lalu. Sementara itu, Tadashi Yanai, CEO Fast Retailing, perusahaan di balik merk Uniqlo, mengatakan, lulusan baru dari perguruan tinggi luar negeri yang mereka pekerjakan tidak dapat masuk ke Jepang. “Ini bisa menyebabkan kekuatan nasional Jepang menurun,” katanya.

Awal pekan ini, Masakazu Tokura, Ketua Federasi Bisnis Jepang (Keidanren), juga menyerukan untuk melonggarkan masuknya warga negara asing: Ia berpendapat, sekarang sebagian besar infeksi coronavirus (di Jepang) telah menjadi kasus varian Omicron, dan menurutnya tidak ada gunanya untuk melanjutkan (pelarangan).

Panel ahli di bawah Organisasi Kesehatan (WHO) bahkan mendesak negara-negara untuk melonggarkan atau menghapus pembatasan perjalanan terkait virus corona, dengan alasan bahwa mereka menciptakan beban ekonomi dan sosial tanpa membawa hasil yang diinginkan. Dalam laporannya yang dirilis 19 Januari 2022, panel itu mengatakan, larangan perjalanan tidak efektif dalam menekan penyebaran (Omicron) internasional.

Di lain sisi, kebijakan larangan masuk ternyata tidak menyurutkan hasrat para pelamar untuk tetap bekerja di Jepang meski sebenarnya sudah memberatkan ekonomi mereka. Atik Rahayu, yang telah lulus ujian untuk menjadi perawat magang di Prefektur Ibaraki, mengatakan bahwa dia tidak akan menyerah untuk bekerja di Jepang. “Penantian selama dua tahun telah saya dan keluarga stres. Namun, mimpi saya adalah bekerja di Jepang dan membawa keluarga ke sana,” katanya.  

Senada, John-Ivan Labayane, seorang mahasiswa di Lead Training and Business Solutions di Manila, juga tidak akan mengubah tujuannya meskipun harus menunggu begitu lama. Ia sendiri telah mendapatkan tawaran pekerjaan di panti jompo melalui program pekerja terampil yang ditentukan. “Tentu saja, bekerja di Jepang akan melelahkan, tetapi Jepang memiliki banyak hal untuk dinanti-nantikan, dan itu membuat saya bertahan dalam penantian,” ujarnya.

Siswa lainnya di Lead, Karen Nielzen Berlanga, juga terjebak di rumah dan menunggu untuk bekerja di Fukujukai, sebuah institusi medis yang berbasis di Tokyo. Dia telah lulus ujian untuk program pekerja terampil yang ditentukan. Sambil menunggu izin masuk, ia memang tidak bekerja, tetapi bahasa Jepang. “Saya tidak akan pernah menyerah pergi ke Jepang. Saya suka budaya Jepang,” tegasnya.

Pos terkait