Terancam Tenggelam, Warga Jakarta: Pindah ke Ibu Kota Baru Tidak Selesaikan Masalah

Ilustrasi : Banjir di Jakarta - detik.com

JAKARTA – Sudah banyak ahli, bahkan Presiden AS, Joe Biden, yang memprediksi Jakarta akan tenggelam, mengacu pada kenaikan permukaan air laut yang terus-menerus. Meski demikian, warga lokal mengatakan ancaman tenggelam tersebut ‘terlalu berlebihan’ dan mereka tampaknya enggan untuk pindah ke baru karena itu dianggap hanya akan membawa masalah ke tempat yang baru.

Bacaan Lainnya

“Saya tidak melihat banyak (kenaikan permukaan air laut),” tutur M. Larsati, salah satu warga Jakarta, kepada TRT World. “Ini (kenaikan permukaan air laut) terjadi di bagian utara Jakarta dan saya tinggal di bagian selatan. Jadi, kami belum melihat banyak efeknya. Bahkan, jika itu memang naik, itu tidak signifikan.”

Pendapat senada diutarakan Amanda Siddharta, warga Jakarta lainnya dan kebetulan adalah seorang peneliti. Dia tidak terkesan dengan referensi tenggelamnya Kota Jakarta dan menurutnya itu hanya untuk mencari sensasi. “Jakarta tidak akan menjadi Atlantis,” tutur Amanda dengan nada acuh tak acuh.

Sebelumnya, para ahli mengatakan bahwa perubahan iklim dan penggunaan air tanah yang sembrono akan menyebabkan penurunan tanah, yang mungkin dapat menenggelamkan Jakarta. Heri Andreas, pengajar geodesi di Institut Teknologi Bandung, mengatakan, sekitar 95 persen wilayah Jakarta Utara bisa tenggelam pada tahun 2050 mendatang karena naiknya permukaan air laut.

NASA juga berbicara tentang tantangan yang dihadapi wilayah metropolitan Jakarta, ‘konglomerasi’ dari 32 juta orang di Jawa, dengan mengatakan 40 persen kota diperkirakan telah tenggelam di bawah permukaan laut. Ancaman yang begitu besar membuat Joe Biden menyatakan kekhawatirannya bahwa Jakarta mungkin akan tenggelam dalam 10 tahun ke depan.

Begitu parahnya tingkat ancaman yang dirasakan, perusahaan intelijen risiko, Verisk Maplecroft, yang menyediakan data dan wawasan tentang isu-isu keberlanjutan, ketahanan, dan ESG (Environmental, Social, and Corporate Governance) dari proyek dan perusahaan, telah menempatkan Jakarta sebagai ‘kota paling berisiko’ secara global dalam hal tantangan lingkungan bagi investor.

Sementara itu, Environmental Risk Outlook 2021 mengatakan, kota dengan terburuk di peringkat (global), Jakarta, juga diganggu dengan polusi udara yang mengerikan, dan hal ini diperparah dengan ancaman abadi dari aktivitas seismik dan banjir. Sehingga, Presiden Indonesia, Joko Widodo, berusaha untuk memindahkan ibu kota.

Langkah-langkah mitigasi sebenarnya sudah diupayakan . Pada Januari kemarin, DPR mengesahkan RUU yang menyetujui relokasi ibu kota ke Kalimantan Timur. Namun, ibu kota baru, yang diberi nama Nusantara, sebenarnya tidak direncanakan karena takut akan kenaikan permukaan laut. “Sebaliknya, ini dirancang untuk membantu ‘menghilangkan tekanan’ dari Jakarta,” kata Elisabeth Tarigan, spesialis pengelolaan air di pemerintah provinsi kota.

Elisabeth, yang telah bekerja dengan Dinas Sumber Daya Air Jakarta sejak 2010 dan terkait erat dengan upaya mitigasi yang sedang dilakukan untuk ‘menyelamatkan kota’, mengatakan tujuannya tidak hanya untuk melindungi bagian utara Jakarta dari dampak kenaikan permukaan laut, tetapi juga untuk menangani air yang mengalir dari dataran tinggi ke dataran rendah.

“Pembangunan tanggul pantai, sistem polder, dan waduk penyimpanan adalah bagian dari strategi pertahanan ini. Tanggul akan melindungi daratan dari air laut, sedangkan sistem polder akan memompa air banjir ke laut,” paparnya. “Upaya mitigasi telah dilakukan selama 12 tahun terakhir dan kami tidak akan membiarkannya tenggelam.”

Meski demikian, ia mengakui banjir adalah masalah yang tidak bisa dihilangkan. Menurutnya, itu adalah proses alami dan yang terbaik yang bisa dilakukan adalah memitigasi dan beradaptasi. Beradaptasi dan menyesuaikan itulah yang dilakukan warga seperti Larsati. “Sebagai orang yang telah tinggal di Jakarta hampir sepanjang hidup, itu adalah sesuatu yang sudah biasa kami lakukan,” ujarnya.

“Itu memang ‘tidak normal’, tetapi sayangnya, itulah masalahnya. Setiap kali hujan, Anda harus bersiap menghadapi banjir. Semakin banyak orang yang akan menyadarinya,” sambung Larsati. “Sementara itu, pindah ke ibu kota baru tidak akan menyelesaikan apa pun. Maksud saya, Anda hanya akan memindahkan masalah ke tempat lain.”

Pos terkait