Yerusalem – Israel membangun tembok di Yerusalem sebagai bentuk pencabutan hak komunitas dan pembatasan arus wisatawan, yang memukul ekonomi Palestina. Dilaporkan, otoritas Israel telah menutup sekitar 430 toko komersial Palestina selama dua dekade, mengirim warganya ke jurang kemiskinan.
Dilansir dari TRT World, sebuah laporan dari United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) menjelaskan, segregasi antara Yerusalem dan Palestina terjadi selama dekade terakhir melalui langkah-langkah yang mengubah realitas fisik dan demografi kota dan sebagian besar yang terkena dampaknya adalah penduduk Palestina dan Arab.
Yerusalem Timur secara bertahap terlepas dari otoritas perekonomian Palestina. Padahal, kota bersejarah itu adalah pusat komersial, transportasi, pariwisata, budaya, dan spiritual bagi warga Palestina. Nabil Raz, seorang pengusaha Palestina, menggambarkan lingkungan bisnis di Yerusalem sebagai kehancuran total selama dua tahun terakhir dan diperburuk oleh krisis Covid-19.
“Saya mencari nafkah dengan membuat produk dari kayu zaitun dan sekarang harus pindah ke Eropa untuk menjualnya,” kata Raz. “Itu sangat mengecewakan, karena Yerusalem pernah menjadi pasar utama untuk barang-barang yang saya jual. Saya juga tidak bisa bekerja di Yerusalem lagi, karena tidak terlihat adanya potensi turis atau wisatawan lokal yang akan membeli produk saya.”
Sementara itu, Majdi Joseph dari Handmade Palestine, sebuah organisasi yang mendukung perajin lokal Palestina, mengatakan, ada suatu masa ketika perempuan Palestina memiliki akses ke pasar di Yerusalem. Namun, setelah tembok pemisah dibangun, mata pencaharian mereka secara efektif terhalang. “Pos pemeriksaan melarang akses warga Palestina ke Yerusalem dengan membangun tembok. Para wanita ini biasanya menjual produk susu mereka di pasar,” ujarnya.
Handmade Palestine telah bekerja dengan tiga kelompok wanita yang awalnya bekerja di Yerusalem. Organisasi tersebut termasuk dalam 25 koperasi yang dipimpin perempuan dari Palestina. Kegiatannya tidak hanya berdagang, tetapi juga menyelenggarakan bazar dua tahunan untuk menghubungkan perajin lokal dengan masyarakat, dengan tujuan mendorong lingkungan belajar terhadap pekerjaan mereka.
“Sebelumnya, sejak tahun 1967, komunitas perdagangan Palestina di dalam kota taat kepada kebijakan pemindahan sistematis yang dirancang dan dilaksanakan oleh otoritas pendudukan,” kata Fayrouz Sharqawi mewakili Grassroots Al-Qudz, sebuah organisasi yang berusaha untuk meningkatkan mobilisasi dan jaringan Palestina di Yerusalem. “Kebijakan ini mencakup semua aspek kehidupan, termasuk perampasan tanah, mengabaikan hak komunitas dan bisnis, serta penggunaan status hukum Palestina.”
Menurut Sharqawi alat kolonialisme yang sangat klasik adalah kontrol ekonomi. Tercekiknya ekonomi adalah kenyataan yang harus dihadapi orang Palestina di Yerusalem. “Menekan ekonomi kita di Yerusalem adalah cara yang sangat penting untuk digunakan penduduk Israel dalam mengendalikan populasi, melemahkan, dan akhirnya menggusur warga Palestina dari kota,” paparnya.
Asosiasi Hak Sipil di Israel, sebuah LSM independen, melaporkan, ada kesenjangan yang melebar dalam tingkat kemiskinan antara penduduk Israel dan Palestina. Sekitar 75% dari semua keluarga Palestina di Yerusalem hidup di bawah garis kemiskinan, sedangkan 22%-nya adalah keluarga Israel di Yerusalem.