Kharkiv – Kondisi ekonomi dunia yang porak-poranda dapat dimaklumi karena banyak investor dunia meremehkan risiko geopolitik. Pasar keuangan global semakin krisis setelah pandemi, akibat invasi Rusia ke Ukraina. Jika ini terus berlangsung, maka tak ada bedanya dengan ‘Momen Lehman’ yang pernah terjadi pada 2008.
Diperkirakan, perang antara Rusia dan Ukraina tidak mungkin menjadi pemicu krisis keuangan besar-besaran, seperti yang terjadi pada kematian Lehman Brothers pada 2008. Namun, berdasarkan laporan dari South China Morning Post, skala dan keparahan guncangan geopolitik yang melibatkan salah satu produsen komoditas terbesar di dunia dalam konflik antar negara tersebut akan berujung pada Momen Lehman. Bagi perekonomian global yang masih belum pulih akibat pandemi COVID-19, itu adalah malapetaka besar.
Inilah salah satu alasan mengapa reaksi terhadap invasi Rusia ke Ukraina begitu dramatis dan mengganggu. Tidak hanya investor yang lengah oleh eskalasi konflik yang tajam dari Presiden Rusia vladimir putin, yang memperbesar kejatuhan di pasar, mereka juga meremehkan keinginan barat untuk menghukum Rusia dengan mengorbankan ekonomi mereka sendiri, terutama di Eropa.
Konflik yang semakin memanas mendapatkan kejutan sanksi terkait pembangkit tenaga listrik sebagai penentu ekonomi global. Mengetahui besarnya dampak sanksi tersebut terhadap Rusia, salah satu produsen minyak terbesar dunia yang memasok 40% gas Eropa sekaligus pemain utama di pasar gandum, aluminium, nikel, dilaporkan mengalami kenaikan mingguan secara drastis pekan lalu pada Bloomberg Commodity Spot Index.
Keganasan pergerakan harga sangat mengejutkan. Minyak mentah Brent sebagai patokan minyak internasional, naik sekitar 20% sejak 18 Februari 2022 ke level tertinggi sejak 2014. Kekhawatiran atas pasokan Rusia juga menyebabkan harga nikel berlipat ganda pada hari Selasa (8/3), ini memaksa Shanghai Futures Exchange sebagai kontraktor nikel paling aktif di dunia harus menangguhkan perdagangan di beberapa perusahaannya.
Harga gas alam Eropa, yang telah mencapai rekor tertinggi bergolak liar, dan harga gandum telah melonjak drastis seperti krisis pangan pada 2007-2008. Ini bisa memicu kerusuhan politik di seluruh dunia. Banyak investor baru saja memahami fakta bahwa Rusia dan Ukraina bersama-sama menyumbang hampir sepertiga dari ekspor gandum dunia, hampir seperlima dari perdagangan jagungnya dan 80% produksi minyak bunga matahari.
Hal itu meningkatkan ketakutan inflasi dan memaksa banyak bank sentral terkemuka untuk mengambil sikap yang lebih hawkish. Ini juga memicu kepanikan atas ancaman stagflasi karena melonjaknya harga energi dan makanan meningkatkan risiko penurunan tajam.
“Krisis yang sebenarnya sedang berlangsung,” kata pihak Credit Suisse pada hari Senin (7/3). “Itu adalah krisis komoditas.”
Bahkan, Indonesia pun terkena imbasnya. Telah terjadi krisis minyak goreng di saat harganya diturunkan. Ini membuat sejumlah pihak mencoba menimbun minyak goreng untuk dijual di kemudian hari saat harganya melambung naik, sehingga para konsumen kesulitan mencari minyak goreng di pasaran.
Kejadian ini mirip keputusan tak terduga pemerintah AS untuk membiarkan Lehman Brothers bangkrut di masa lalu. Hal ini menyebabkan peningkatan taruhan keuangan secara eksponensial. Kesediaan Barat untuk menjatuhkan sanksi terhadap Rusia yang lebih keras dari yang diharapkan secara signifikan dapat meningkatkan risiko guncangan minyak gaya tahun 1970-an.
Efek langsung dari keruntuhan Lehman menyebabkan kehancuran keuangan global. Guncangan komoditas hari ini, yang dalam beberapa hal mirip dengan yang terjadi setelah Perang Yom Kippur 1973, membuat stagflasi jauh lebih mengancam. Pasar obligasi, yang sebelumnya melihat kenaikan harga sebagai ancaman utama, kini jauh lebih mengkhawatirkan resesi, khususnya di Eropa.