jakarta – rupiah tetap terbenam di area merah pada perdagangan Selasa (1/8) sore setelah Indeks Harga Konsumen (IHK) Indonesia pada bulan Juli 2023 dilaporkan mengalami inflasi yang lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya. Menurut paparan Bloomberg Index pukul 14.46 WIB, mata uang Garuda ditutup melemah 35,5 poin atau 0,24% ke level Rp15.115,5 per dolar AS.
Siang tadi, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa IHK Indonesia bulan Juli 2023 mengalami inflasi sebesar 0,21% month-to-month. Angka ini lebih tinggi dibandingkan Juni 2023 yang mencatatkan inflasi sebesar 0,14%, tetapi lebih rendah dari Juli 2022 yang mencapai 0,64%. Dengan demikian, inflasi tahun kalender mencapai 1,45%, sedangkan inflasi tahunan (year-on-year) sebesar 3,08%.
Kenaikan inflasi ini selaras dengan perkiraan konsensus CNBC Indonesia. Survei pasar yang melibatkan 11 institusi memperkirakan inflasi Juli 2023 akan menembus angka 0,21% dibandingkan bulan sebelumnya. Hasil polling juga memprediksi inflasi tahunan akan menembus 3,08% pada bulan ini, dengan inflasi inti diperkirakan mencapai 2,50%.
Deputi Bidang Statistik distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini, menjelaskan bahwa kelompok penyumbang inflasi bulanan terbesar pada Juli 2023 adalah kelompok transportasi, dengan andil sebesar 0,08%. Sementara itu, bila menilik komoditas penyumbang inflasi, terbesar datang dari angkutan udara dengan andil 0,06%, diikuti komoditas daging ayam ras dengan andil 0,04%, cabai merah dengan andil 0,03%, dan bawang putih dengan andil 0,02%.
Sementara itu, dari pasar Asia, yen tergelincir ke level terendah baru tiga minggu pada hari Selasa karena para pedagang merenungkan langkah-langkah Bank of Japan minggu lalu untuk men-tweak kebijakan pengendalian kurva imbal hasil, sedangkan dolar Australia melemah menjelang keputusan kebijakan Reserve Bank of Australia. Mata uang Jepang terpantau menyentuh posisi terendah di 142.80 terhadap dolar as.
“Pasar dapat menguji seberapa ‘fleksibel’ Bank of Japan dalam beberapa bulan mendatang, dan perubahan halus menunjukkan bahwa mereka mungkin bersiap untuk mengubah target pada tahun 2023,” ujar ekonom senior Asia di UBP di Hong Kong, Carlos Casanova, dilansir dari Reuters. “Karena garis baru di pasir adalah 1%, masuk akal untuk memperluas pita YCC (yield curve control) pada level ini.”