Inflasi China Melebihi Ekspektasi, Rupiah Berakhir Melemah

Rupiah melemah pada perdagangan Senin (11/4) sore - investor.id

JAKARTA – Rupiah harus menerima nasib tertahan di zona merah pada perdagangan Senin (11/4) sore setelah indeks harga konsumen China dilaporkan mengalami inflasi lebih tinggi dibandingkan konsensus pasar. Menurut catatan Bloomberg Index pukul 14.59 WIB, mata uang Garuda berakhir melemah tipis 3,5 poin atau 0,02% ke level Rp14.365 per dolar AS.

Bacaan Lainnya

Sementara itu, mayoritas mata uang di kawasan Benua Asia juga tidak mampu mengalahkan greenback. Won Selatan menjadi yang paling terpuruk setelah 0,52%, diikuti yen Jepang yang 0,43%, ringgit Malaysia yang melemah 0,10%, dolar Singapura yang terkoreksi 0,09%, yuan China yang turun 0,06%, dan baht Thailand yang harus berkurang 0,05%.

“Mayoritas mata uang dunia tertekan karena sentimen kenaikan tingkat imbal hasil surat utang AS (US Treasury) bertenor 10 tahun ke level 2,7%, menguatkan ekspektasi pasar terhadap pengetatan kebijakan Federal Reserve dalam waktu yang cepat,” papar analis pasar uang, Ariston Tjendra, seperti dilansir dari CNN Indonesia. “Selain itu, ada pula sentimen kenaikan inflasi di berbagai negara yang dapat menekan pertumbuhan ekonomi.”

Kenaikan inflasi terbaru dilaporkan China, yang mencatat inflasi produsen (PPI) bulan Maret 2022 melonjak 8,3% dibandingkan tahun lalu. Data resmi yang dirilis hari ini juga menunjukkan indeks harga konsumen (CPI) bulan Maret 2022 mengalami inflasi sebesar 1,5% year-on-year atau di atas ekspektasi jajak pendapat yang memperkirakan kenaikan sebesar 1,2%.

“Saya pikir fakta yang lebih penting adalah kesenjangan besar antara CPI dan PPI, dan itu menunjukkan bahwa kekuatan harga di antara sebagian besar perusahaan di China lemah dan mereka mendapat pukulan margin,” papar manajer portofolio di Vontobel Asset Management, Ramiz Chelat, dikutip dari CNBC. “Mengingat infeksi Omicron, kita bisa melihat lebih banyak penguncian. Kami pikir Anda harus sangat selektif di China, mencari perusahaan yang dapat memberikan dalam lingkungan yang menantang.”

Menurut ekonom China di Capital Economics, Sheana Yue, dalam istilah bulan-ke-bulan yang disesuaikan secara musiman, harga naik dengan laju tercepat sejak Oktober. Pemicu utamanya adalah harga bakar dan makanan yang lebih tinggi. “Namun, inflasi inti sebagian besar tidak berubah,” kata Yue, seperti dilansir dari South China Morning Post.

Pos terkait