Tunggu Data Inflasi AS, Rupiah Berakhir Menguat

Rupiah - nasional.tempo.co
Rupiah - nasional.tempo.co

Rupiah sanggup bertahan di teritori hijau pada Kamis (10/6) sore ketika fokus utama investor saat ini tertuju pada laporan inflasi AS bulan Mei 2021 yang akan diumumkan nanti malam WIB. Menurut catatan Bloomberg Index pada pukul 14.56 WIB, mata Garuda ditutup menguat 7,5 poin atau 0,05% ke level Rp14.247,5 per dolar AS.

Bacaan Lainnya

Sementara itu, mayoritas mata uang Asia juga mampu mengungguli greenback, meskipun dalam rentang yang relatif sempit. Dolar Taiwan terpantau menguat 0,08%, yen Jepang naik 0,07%, sedangkan won dan yuan China sama-sama terapresiasi 0,06%. Sebaliknya, India harus terdampar di area merah setelah melemah 0,12%.

“Rupiah dibayangi penantian terhadap data penting AS, yaitu indeks Harga konsumen () atau inflasi AS periode Mei 2021 yang akan dirilis malam nanti sekitar pukul 19.30 WIB,” kata analis pasar uang, Ariston Tjendra, dikutip dari CNN Indonesia. “Apabila IHK naik atau mengalami inflasi di atas perkiraan pasar, kondisi ini bisa memicu penguatan dolar A, dan sebaliknya.”

Dari pasar global, dolar AS masih terus melayang di dekat level terendah lima bulan versus mata uang utama pada hari Kamis ketika investor sibuk menantikan data inflasi utama AS dan pertemuan Bank Sentral Eropa (ECB) yang berpotensi menetapkan arah pasar mata uang. Mata uang Paman Sam terpantau menguat 0,065 poin atau 0,07% ke level 90,185 pada pukul 11.09 WIB.

Indeks harga konsumen (CPI) AS telah banyak diantisipasi setelah laporan bulan lalu menunjukkan IHK AS meningkat paling tinggi dalam hampir 12 tahun pada April 2021. Hal tersebut telah memicu spekulasi bahwa IHK yang lebih tinggi dapat bertahan lebih lama dari yang diperkirakan, berpotensi mempertanyakan opini The Fed bahwa tekanan inflasi saat ini bersifat sementara. Menurut survei Reuters, CPI bulan Mei 2021 diprediksi naik 0,4%.

“Rasanya seperti keseimbangan dimiringkan ke atas pada IHK AS versus konsensus, yang akan mendukung aksi jual di obligasi (dan dengan demikian) menjadi lebih tinggi, dan selanjutnya dolar AS yang lebih kuat,” ujar kepala penelitian di Pepperstone di Melbourne, Chris Weston, dikutip dari Reuters. “Obligasi tampaknya overbought.”

Pos terkait