JAKARTA – Pemerintahan Presiden Joko Widodo berencana untuk mengubah Indonesia dari pencemar utama lingkungan menjadi pemimpin iklim dengan melakukan dekarbonisasi. pemerintah agaknya membutuhkan rencana tersebut agar posisi Indonesia yang bakal ditunjuk untuk memimpin kelompok G20 memang dapat dikatakan layak.
Seperti dilansir dari nikkei Asia, Presiden Joko Widodo telah memperkenalkan serangkaian rencana untuk mengubah Indonesia menjadi pemimpin iklim, menjelang negara itu secara resmi mengambil kepemimpinan kelompok G20. Presiden Jokowi, sapaan akrabnya, berjanji untuk menunjukkan kepemimpinan yang menghasilkan pertumbuhan inklusif, berpusat pada masyarakat, ramah lingkungan dan berkelanjutan, selama pidato di Italia pada Oktober lalu.
Ia terlihat untuk menunjukkan kemajuan dalam janji Jakarta untuk mencapai netralitas karbon pada tahun 2060. Pada 11 November lalu, Presiden Jokowi dan menteri luar negeri Inggris, Elizabeth Truss, setuju agar bursa saham kedua negara bekerja sama dalam memperluas perdagangan kredit karbon. Awal bulan tersebut, kepala negara juga menandatangani peraturan yang menjadi dasar skema penetapan harga karbon.
Jakarta berencana untuk memperkenalkan pajak karbon pada bulan April untuk pembangkit listrik tenaga batu bara dan target lainnya. Pasar perdagangan emisi diharapkan akan segera dilaksanakan. Presiden Jokowi juga memaparkan potensi besar Indonesia untuk menghasilkan energi terbarukan. “Negara ini memiliki 4.400 sungai, dan jumlah pembangkit listrik tenaga air yang tidak terhitung,” katanya pada pertemuan bank sentral pada 24 November kemarin.
Indonesia menghasilkan lebih dari 60% listriknya dari batu bara, menjadikan negara ini sebagai penghasil emisi karbon dioksida terbesar ke-10 dari produksi energi. Presiden Jokowi pernah dianggap acuh tak acuh terhadap dekarbonisasi karena ia berfokus untuk mengubah Indonesia menjadi ekonomi maju pada tahun 2045, dan karenanya butuh lebih banyak listrik untuk mendorong pertumbuhan tersebut.
Namun, perubahan iklim telah menjadi topik utama diskusi dalam pertemuan G20 baru-baru ini. Jadi, sikap pasif terhadap dekarbonisasi akan menimbulkan risiko bahwa Indonesia tidak dapat menunjukkan kepemimpinan di kelompok tersebut. Padahal, Indonesia adalah rumah bagi cadangan nikel terbesar di dunia, bahan utama pembuatan baterai kendaraan listrik. Negara ini juga memiliki jumlah hutan hujan terbesar ketiga berdasarkan wilayah, yang sangat penting untuk menyerap karbon dioksida. Prospek menarik industri EV global dan investasi ke dalam reboisasi telah mendorong pergeseran Jakarta menuju dekarbonisasi.
Sayangnya, pada tahap ini, agenda baru lebih cenderung menjadi sekadar kata-kata daripada tindakan. Tujuan pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 41% pada tahun 2030 masih didasarkan pada dukungan internasional. Tanpa bantuan itu, pengurangan hanya akan mencapai 29%. Beberapa pengamat juga meragukan dedikasi Indonesia dalam memerangi perubahan iklim.
Selama KTT COP26 pada awal November lalu, Indonesia adalah salah satu dari lebih dari 100 negara yang menandatangani deklarasi untuk menghentikan deforestasi dan memulihkan hutan. Namun, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, melemparkan cuitan di Twitter tak lama kemudian yang memicu kemarahan para pemerhati lingkungan. “Pembangunan besar-besaran Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi,” tulisnya.