Indonesia Tambah Kadar Minyak Sawit untuk Biodiesel, Upaya Lawan Kebijakan Eropa?

Ilustrasi : Kelapa Sawit (Sumber : polri.go.id)

JAKARTA – Pemerintah Indonesia kembali mengirimkan gelombang kejutan baru untuk pasar global setelah memutuskan untuk lebih banyak menggunakan kelapa sawit untuk keperluan domestik, kurang dari satu tahun setelah larangan ekspornya yang singkat mendorong harga internasional berguncang. Jakarta baru-baru ini mengamanatkan campuran berbasis minyak kelapa sawit yang lebih tinggi dalam biodiesel, menyisakan lebih sedikit untuk ekspor.

Bacaan Lainnya

Seperti dilansir dari Nikkei Asia, minyak kelapa sawit, yang digunakan dalam berbagai aplikasi mulai dari makanan hingga kosmetik, adalah minyak nabati yang paling banyak dikonsumsi. Indonesia, produsen dan eksportir terbesar, lantas memberlakukan larangan ekspor pada April 2022 untuk menekan inflasi dan mengamankan pasokan lokal.

Langkah tersebut memicu kekhawatiran tentang pasokan global komoditas, mengirim harga patokan minyak sawit berjangka Malaysia melonjak menjadi 7.229 ringgit per ton (1.680 dolar AS pada kurs saat ini) pada akhir April, mendekati level tertinggi sepanjang masa. Indonesia kemudian mencabut larangan tersebut dalam waktu kurang dari sebulan, menyebabkan kontrak anjlok, tenggelam ke level 3.200 ringgit per ton pada bulan September.

Sempat terlihat stabil, harga kembali menanjak pada musim dingin ini, berada di kisaran 3.800 ringgit per ton. Peningkatan tersebut didorong oleh mandat Jakarta untuk meningkatkan campuran bahan bakar berbasis minyak sawit dalam biodiesel menjadi 35% dari sebelumnya 30%. Program yang disebut B35 dirancang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan mengurangi ketergantungan negara pada minyak mentah impor.

B35 diperkirakan akan meningkatkan jumlah minyak sawit yang digunakan untuk bahan bakar sebesar 20% pada tahun 2023 ini. Hal tersebut dinilai akan membatasi kemampuan ekspor Indonesia, dan Asosiasi Minyak Sawit Indonesia mengantisipasi pengiriman negara pada tahun 2023 akan turun sekitar 20% dari lebih dari 30 juta ton pada tahun lalu.

Menurut Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, program B35 Indonesia tidak akan mengganggu pasokan yang dibutuhkan untuk (pangan). Namun, satu tahun setelah invasi Rusia ke Ukraina untuk pertama kalinya mengancam ketahanan pangan di seluruh dunia, rantai pasokan minyak nabati tetap menjadi hambatan.

Selain penggunaan domestik, Indonesia mungkin memiliki motif tersembunyi, apalagi kalau bukan memerangi kebijakan Eropa. Perkebunan kelapa sawit, yang berkembang di seluruh Asia Tenggara, telah disalahkan atas semakin hilangnya hutan tropis. Pada awal Desember 2022, Uni Eropa mencapai kesepakatan untuk mengadopsi yang mewajibkan perusahaan untuk menunjukkan bahwa minyak kelapa sawit mereka dan komoditas lain yang dijual di blok tersebut tidak terkait dengan deforestasi.

Uni Eropa juga memiliki arahan energi terbarukan untuk menghentikan penggunaan bahan bakar berbasis minyak sawit secara bertahap pada tahun 2030 mendatang. Dengan aturan tersebut, konsumsi biodiesel di AS dan Eropa diprediksi Organization for Economic Cooperation and Development akan terus menurun menjelang tahun 2031.

Tatsuji Koizumi dari Policy Research Institute of Japan’s Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries, mengatakan bahwa dengan proyeksi penurunan permintaan luar negeri, Indonesia ingin meningkatkan permintaan lokal untuk melindungi harga. Jakarta sendiri telah mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan tingkat pencampuran biodiesel menjadi 40%.

Di sisi lain, pembeli khawatir tentang risiko krisis pasokan dalam setiap penurunan output terkait cuaca. Kelangkaan pupuk dan hujan lebat memicu kekhawatiran tentang panen tahun ini di Malaysia, produsen dan eksportir nomor dua dunia. “Apabila perubahan iklim menyebabkan peningkatan hasil panen yang buruk sementara konsumsi untuk penggunaan energi meningkat, hal tersebut akan menyebabkan fluktuasi harga,” tutur Takayuki Kawarabayashi dari Norinchukin Research Institute di Jepang.

Meski demikian, hingga saat ini, permintaan global akan minyak kelapa sawit masih tetap kuat. Di India, salah satu konsumen terkemuka di tengah pertumbuhan populasi, permintaan diperkirakan akan meningkat hampir 10% untuk tahun fiskal 2022/2023. Konsumsi di China kemungkinan juga akan pulih seiring berakhirnya kebijakan nol-COVID yang ketat di negara tersebut.

Pos terkait