Bakal Dilarang Eropa, Indonesia & Malaysia Lawan Diskriminasi Ekspor Minyak Sawit

Kelapa Sawit (Sumber : kemenperin.go.id)

JAKARTA – Indonesia dan Malaysia sepakat untuk bekerja sama memerangi diskriminasi terhadap minyak sawit (CPO atau crude palm oil). Ini seiring dengan rencana Uni Eropa untuk mewajibkan negara anggotanya memotong impor kelapa sawit karena menganggap komoditas tersebut berkaitan dengan deforestasi global.

Seperti dilansir dari TRT World, pada 6 Desember lalu, Uni Eropa menandatangani perjanjian untuk memerangi deforestasi global, menyebut produksi minyak sawit sebagai salah satu deforestasi skala besar. Ketika peraturan tersebut diadopsi menjadi undang-undang, akan mewajibkan 27 negara anggota untuk memotong impor komoditas yang mereka yakini bertanggung jawab atas perusakan kawasan hutan, terutama hutan hujan.

Bacaan Lainnya

Rencananya adalah untuk menghentikan pemasok menjual minyak sawit, sapi, kedelai, kopi, kakao, kayu, karet, dan yang terbuat dari komoditas tersebut, seperti cokelat, kulit, dan furniture, di pasar Benua Biru. Ini adalah bagian dari upaya yang lebih luas untuk mengurangi jejak karbon di blok tersebut. Argumen mengatakan, komoditas ini semakin banyak ditanam di lahan pertanian, yang telah merambah kawasan hutan.

Peraturan tersebut tidak melarang semua impor. Sesuai peraturan, perusahaan yang terlibat dalam perdagangan komoditas ini dan terkait harus memastikan bahwa mereka tidak ditanam atau diproduksi di lahan yang digunduli setelah Desember 2020. Ini berarti seorang petani Malaysia yang telah memanen minyak sawit di wilayah yang gundul sebelum tanggal batas waktu, tidak perlu khawatir tentang penjualan produknya.

Meski demikian, harus ada teknis pembuktian bahwa komoditas tersebut tidak melanggar peraturan. Bagian ini yang rumit dan kemungkinan akan menambah beban biaya bagi pemilik lahan kecil, demikian menurut Dewan Minyak Sawit Malaysia. Perusahaan yang mengimpor komoditas harus melakukan pemantauan ketat terhadap sumber mereka. Misalnya, pemasok harus mengumpulkan koordinat geografis yang tepat dari tempat produksi komoditas.

Presiden Indonesia, Joko ‘Jokowi’ Widodo, mengatakan pihaknya dan Malaysia akan bekerja untuk mempromosikan komoditas melalui Dewan Negara Penghasil Minyak Sawit. Pihak berwenang kedua negara mengatakan bahwa mereka telah memiliki peraturan dan regulasi yang ketat untuk melindungi hutan mereka. Seperti diketahui, Indonesia dan Malaysia memenuhi lebih dari 85 persen permintaan minyak sawit dunia. Jutaan petani, sebagian besar pemilik lahan kecil, bergantung pada perkebunan sawit untuk menafkahi keluarga mereka.

Selama beberapa tahun ini, para pemimpin Uni Eropa telah mengarahkan pandangan mereka untuk membatasi impor minyak sawit, yang sebagian besar digunakan sebagai biofuel. Ketika proposal tersebut pertama kali muncul pada tahun 2018, Malaysia mengeluarkan kritik keras, menyebutnya sebagai ‘crop apartheid’.

Kegelisahan Kuala Lumpur bukan tanpa alasan. Minyak lobak, yang diproduksi di Eropa, memiliki andil tertinggi dalam produksi biofuel. Namun, minyak lobak telah dibebaskan dari peraturan ketat, yang menargetkan minyak sawit, sehingga menimbulkan kekhawatiran tentang diskriminasi yang dilakukan Uni Eropa.

Pada bagiannya, Uni Eropa mengatakan telah mendasarkan keputusannya pada dampak komoditas ini terhadap deforestasi. Komisi Eropa mengklaim telah melakukan survei terperinci, mengumpulkan 1,2 juta tanggapan dari publik sebelum memperkenalkan peraturan tentang bebas deforestasi. Mereka lantas berencana untuk secara bertahap menghentikan konsumsi minyak sawit sebagai biofuel dan sepenuhnya melarangnya pada tahun 2030.

“Uni Eropa telah mengklasifikasikan bahan baku minyak sawit memiliki risiko tinggi terhadap perubahan penggunaan indirect land-use change (ILUC) atau lahan tidak langsung, dibandingkan dengan minyak nabati lainnya seperti rapeseed dan bunga matahari yang dianggap sebagai bahan baku berisiko rendah,” kata sebuah studi baru-baru ini tentang dampak dari larangan impor Uni Eropa.

Pos terkait