IMF Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Global, Rupiah Berakhir Melemah

Rupiah melemah (Sumber : www.vibiznews.com)

Rupiah praktis tidak memiliki tenaga untuk naik ke zona hijau pada perdagangan Senin (17/10) sore setelah IMF memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi, yang menambah kekhawatiran resesi global. Menurut laporan Bloomberg Index pada pukul 14.58 WIB, mata uang Garuda berakhir melemah 60,5 poin atau 0,39% ke level Rp15.487,5 per AS.

Sementara itu, mata uang di kawasan Benua terpantau bergerak variatif terhadap greenback. Won Korea Selatan menjadi yang paling terpuruk setelah melorot 0,37%, diikuti yuan China yang terkoreksi 0,32%, dan yen Jepang yang melemah tipis 0,01%. Sebaliknya, baht Thailand masih mampu menguat 0,3%, sedangkan bergerak stagnan.

Bacaan Lainnya

“Rupiah berpeluang melemah pada hari ini karena pasar masih mengkhawatirkan kenaikan suku bunga acuan The Fed yang masih agresif,” tutur analis Sinarmas Futures, Ariston Tjendra, pagi tadi seperti dikutip dari CNN Indonesia. “Di sisi lain, pemangkasan proyeksi pertumbuhan ekonomi oleh IMF semakin menambah kekhawatiran pasar mengenai resesi global yang bisa mendorong mereka keluar dari aset berisiko dan masuk ke aset yang lebih aman.”

Dalam World Economic Outlook 2022, IMF memangkas perkiraan atau outlook pertumbuhan ekonomi global tahun menjadi 2,7%. Sebelumnya, pada Januari 2022, ekonomi global diperkirakan tumbuh 3,8%, kemudian turun menjadi 2,9% pada Juli 2022. Menurut lembaga tersebut, dua tahun pandemi Covid-19, diikuti perang Rusia-Ukraina, berdampak signifikan pada penurunan aktivitas perdagangan global hingga turbulensi pasar keuangan.

Sejumlah analis pun menilai bahwa pertahanan mata uang Indonesia terhadap tekanan dolar AS mulai runtuh, setelah sebelumnya mampu unggul, setidaknya hingga Agustus kemarin, sebagian besar didukung ekspor gas, minyak sawit, dan komoditas berharga lainnya. Sempat hanya turun 3% dalam enam bulan hingga Agustus 2022, mata uang Garuda sudah terdepresiasi 2,5% di bulan September saja.

Kerentanan historis rupiah karena statusnya sebagai perdagangan ‘carry’ yang berisiko, tetapi menghasilkan nilai tinggi, menarik kepemilikan asing atas obligasi Indonesia ketika imbal hasil di pasar yang lebih maju menawarkan pengembalian yang relatif kecil. Selama siklus pengetatan Federal Reserve sebelumnya pada tahun 2018, rupiah jatuh ke posisi terendah selama beberapa dekade, sedangkan selama taper tantrum tahun 2013 anjlok 20%.

“Indonesia masih memiliki carry yang masuk akal. masih memiliki bank sentral, setidaknya sekarang, yang lebih proaktif, dan memiliki banyak kredibilitas, dan masih memiliki penarik dari komoditas,” kata manajer portofolio senior dan kepala internasional kelompok pendapatan tetap di Federated Hermes, Ihab Salib, dilansir dari Reuters. “Saya pikir semua itu bersama-sama, bagi saya, menunjukkan Indonesia mungkin mengungguli secara relatif.”

Pos terkait