Jakarta – Industri jamu di Indonesia sudah berusia ratusan tahun, tetapi penggemarnya hanyalah orang tua dan jarang ada anak muda yang menyukainya karena aromanya yang terlalu tajam dan rasanya yang tidak umum. Namun, seperti rantai global yang mengantarkan era baru konsumsi kopi, kedai-kedai yang menyajikan jamu dan minuman tradisional lainnya bermunculan di Nusantara dan menjadi viral di kalangan anak muda.
Dilansir dari Nikkei Asia, naiknya pamor jamu sebagai minuman khas Indonesia di kalangan remaja diakibatkan pandemi coronavirus. Penyakit yang menyebar luas ini membuat banyak orang semakin peduli terhadap kesehatan mereka. Beberapa orang bahkan merasa putus asa mencari pengobatan medis karena biaya yang mahal sekaligus teror infeksi yang bisa meningkat sewaktu-waktu.
Dengan permintaan akan jamu yang terus melambung, sebuah asosiasi industri berharap bahwa ledakan ini bisa membantu jamu dimasukkan daftar Warisan Budaya Takbenda UNESCO dalam waktu dekat. Untuk menjaga popularitas jamu, saat ini sudah ada kedai jamu mewah di Jakarta yang mengusung konsep ala Starbucks.
“Kalau melihat industri kopi, ada ombaknya,” ujar Jony Yuwono, pendiri Acaraki Jakarta, salah satu pionir kafe jamu mewah. “Kopi gelombang pertama adalah kopi instan. Kemudian, kopi gelombang kedua adalah Starbucks yang menjanjikan kopi seduh dari biji asli yang digiling di depan para pelanggannya.”
Acaraki sendiri telah mengadopsi metode gelombang kedua kopi ke jamu. Di kafe andalannya di Jakarta Utara, barista menggunakan mesin espresso untuk mengekstrak minuman dari rempah-rempah alami seperti asam dan kunyit. Jamu tradisional memang pahit, tapi kafe ini juga memiliki sajian yang lebih manis dan enak di lidah, seperti jamu affogato, yang hits di kalangan milenial Indonesia saat ini.
Jamu adalah obat tradisional yang terbuat dari rempah-rempah alami seperti jahe, kunyit dan madu. Asal-usulnya dikatakan dari Kerajaan Mataram, sebuah kerajaan Hindu-Budha yang menguasai Jawa antara abad ke-8 hingga ke-11. Banyak orang Indonesia yang percaya, ramuan rempah-rempah dan rimpang tersebut dapat menjaga sistem kekebalan tubuh agar tetap kuat. Paket jamu cair produksi perusahaan farmasi lokal yang menjadi andalan rumah tangga Indonesia, sudah lama dikonsumsi sebagai obat tradisional untuk flu, nyeri sendi dan penyakit ringan lainnya.
“Meski sudah mendarah daging dalam budaya Indonesia, jamu memiliki masalah citra”, kata Vanessa Kalani, pendiri Jamu Bar di Jakarta Pusat. “Dua puluh tahun yang lalu, hal pertama yang terlintas dalam pikiran dengan jamu adalah penambah vitalitas pria. Di Kota Tua Jakarta, orang-orang menjual viagra tradisional seperti itu, sehingga menimbulkan citra negatif terhadap minuman jamu.”
Namun, semua itu berubah ketika COVID-19 melanda Indonesia dan orang-orang, termasuk Presiden Joko Widodo (Jokowi), mulai mencari cara untuk melindungi diri mereka sendiri tanpa adanya perawatan dan vaksin. “Saya minum jamu setiap hari. Temulawak, jahe, serai, dan kunyit, saya campur dan saya minum di pagi hari. Sekarang ada virus corona, saya minum pagi, siang, malam,” katanya pada Maret 2020 lalu.
Berkat pernyataan dari Presiden Jokowi, jamu mulai populer di semua kalangan, termasuk anak muda. Menurut data Euromonitor International, penjualan jamu dalam kemasan di Indonesia melampaui USD 1 miliar pada tahun 2020, melonjak 8,4% dari tahun sebelumnya. Perusahaan riset menyatakan penjualan 2021 naik hampir 8%.
Penjualan produsen jamu terbesar di Tanah Air, Sido Muncul, juga melonjak. Penjualannya meningkat dari tahun ke tahun sebesar 23% dalam sembilan bulan yang berakhir pada September 2021, dengan total Rp2,7 triliun. Harga saham perseroan telah naik hampir 40% sejak awal tahun 2020.
“Bau, rasanya aneh, dan banyak tanggapan negatif tentang jamu,” tutur Vanessa, mengingat ketika keluarganya pertama kali membuka kafe di Jakarta Pusat pada 2009. “Banyak orang mengira jamu itu minuman orang kampung. Namun, setelah pandemi, tiba-tiba masyarakat mulai menyadari manfaat jamu.