Kenaikan Harga Pangan dan Energi Ancam Stabilitas Politik Indonesia

Kenaikan Harga Pangan Ancam Indonesia - mediapakuan.pikiran-rakyat.com
Kenaikan Harga Pangan Ancam Indonesia - mediapakuan.pikiran-rakyat.com

JAKARTA – Pemerintah memang mengklaim bahwa Indonesia relatif berhasil dalam menjaga inflasi tetap rendah dibandingkan negara lain seperti AS, Inggris, atau tetangga di , termasuk Thailand dan Filipina. Meski demikian, dikombinasikan konflik Rusia-Ukraina dan respons fiskal dan moneter untuk mengurangi dampak Covid-19, naiknya harga pangan dan dapat mengancam stabilitas politik di dalam negeri.

Bacaan Lainnya

“Dunia sedang berjuang melawan lonjakan harga pangan dan energi yang berkontribusi terhadap tajam inflasi di banyak negara,” ujar Dr. Asmiati Malik, asisten profesor di Universitas Bakrie, dalam sebuah kolom di Nikkei Asia. “Bagi Indonesia, dengan 275 juta orang untuk diberi makan dan pasokan 255,1 Terawatt-hours listrik setiap tahun, kenaikan harga pangan dan energi merupakan ancaman untuk keamanan nasional.”

Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebenarnya telah menyoroti masalah ini dalam pertemuan tingkat menteri pada 20 Juni lalu dan mengangkatnya lagi pada KTT G7 di Jerman beberapa hari kemudian. Ia menekankan bahwa ini harus menjadi perhatian tidak hanya Indonesia, tetapi seluruh dunia. Secara total, kenaikan harga pangan dan energi berarti 60 negara menghadapi keruntuhan ekonomi.

Di Indonesia, harga bahan pokok seperti telur, , minyak goreng, daging , gula, dan kedelai sudah naik sejak tahun lalu. Tahun ini, melonjaknya harga minyak sawit mentah mendorong naiknya harga minyak goreng. Menambah rasa sakit adalah penyakit kaki dan mulut yang menginfeksi lebih dari 300 ribu ternak. Menurut Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, banjir dan musim kemarau panjang, yang diperparah perubahan iklim, sangat memengaruhi ritme tanam dan panen.

“Ketersediaan dan keterjangkauan pangan merupakan hal mendasar bagi stabilitas politik di Indonesia,” sambung Dr. Asmiati. “Dua mantan presiden, Soekarno dan Soeharto, kehilangan kekuasaan di tengah gejolak politik yang didorong oleh kenaikan harga pangan, dan Jokowi menyadari sepenuhnya pentingnya menjaga stabilitas harga pangan dan energi.”

Diperkenalkannya Program Pemulihan Ekonomi Nasional pada tahun 2020 lalu bertujuan untuk memitigasi dampak dari pandemi Covid-19. Program tersebut setidaknya berhasil menjaga daya beli berpenghasilan menengah ke bawah serta mencegah penurunan kepuasan masyarakat dalam pemerintahannya.

Sayangnya, lanjut Dr. Asmiati, perang Rusia-Ukraina dapat menunda kemajuan pemulihan ekonomi Indonesia dan menghentikan pengembangan program-program penting. Dengan gejolak geopolitik yang mendorong kenaikan harga gas alam sebanyak 71% dan minyak mentah mencapai 120 dolar AS per barel, alokasi anggaran Indonesia untuk subsidi energi akan mencapai Rp502,4 triliun pada tahun 2022, meningkat 365% dibandingkan tahun lalu.

Tekanan anggaran yang sangat besar ini akhirnya memaksa pemerintah untuk menaikkan harga BBM Pertamax sebesar 39%, sekaligus tetap memberikan subsidi pada Pertalite. Karena Pertalite tidak dapat dibeli oleh bisnis dan rumah tangga berpenghasilan menengah ke atas, penghapusan subsidi Pertamax masih akan berpengaruh signifikan terhadap biaya produksi dan logistik, sehingga semakin menekan harga barang dan jasa pokok.

“Selain itu, kenaikan harga energi akan berpengaruh signifikan terhadap harga pupuk, khususnya urea, karena salah satu bahan baku dasar yang dibutuhkan untuk produksinya adalah gas bumi,” imbuh Dr. Asmiati. “Lonjakan harga pupuk sebagian besar disebabkan pembatasan ekspor yang diberlakukan oleh China sebagai salah satu produsen fosfor dan kalium terbesar. Selain itu, sanksi terhadap Rusia dan Belarusia juga sangat mengganggu rantai pasokan komoditas energi.”

Fluktuasi harga energi memengaruhi kinerja industri petrokimia, serta memengaruhi pasokan dan permintaan pupuk, menambah biaya produksi pertanian dan membuat kemungkinan guncangan harga lebih lanjut, baik bagi produsen maupun konsumen. Pemerintah memang telah mengalokasikan Rp25 triliun pada tahun 2022 untuk subsidi bagi petani kecil agar harga pupuk tetap terjangkau. “Namun, kenaikan harga pupuk secara signifikan akan mengurangi efektivitas program ini,” ulas Dr. Asmiati.

Indonesia mungkin dapat lolos dari dampak penuh krisis pada tahun ini karena surplus perdagangan, sebagian besar akibat kenaikan harga untuk , nikel, dan minyak sawit. Namun, dalam jangka panjang, kenaikan harga pangan dan energi akan menimbulkan masalah sosial ekonomi, baik secara nasional maupun global. “Untuk Indonesia, Jokowi harus mencari pendapatan guna memastikan bahwa subsidi pangan dan energi sesuai dengan kenaikan harga, atau menerima gejolak politik yang akan terjadi,” pangkas Dr. Asmiati.

Pos terkait