JAKARTA – rupiah harus puas tertahan di area merah pada perdagangan Selasa (8/8) sore, tertekan pernyataan hawkish pejabat Federal Reserve dan angka ekspor-impor China yang dilaporkan mengecewakan. Menurut paparan Bloomberg Index pukul 14.54 WIB, mata uang Garuda ditutup melemah 32,5 poin atau 0,21% ke level Rp15.217,5 per dolar AS.
Sejalan dengan rupiah, mayoritas mata uang di kawasan Benua Asia juga terpantau tidak sanggup mengalahkan greenback. Yen Jepang menjadi yang paling terpuruk setelah melorot 0,39%, diikuti yuan China yang terdepresiasi 0,28%, peso Filipina yang berkurang 0,27%, won korea Selatan yang melemah 0,15%, baht Thailand yang minus 0,13%, dan dolar singapura yang terkoreksi 0,10%.
“Rupiah diperkirakan masih akan tertekan dolar AS setelah pernyataan hawkish dari pejabat The Fed mengenai kenaikan suku bunga kembali oleh bank sentral AS tersebut,” tutur analis pasar uang, Lukman Leong, pagi tadi seperti dilansir dari CNN Indonesia. “Pasar juga menantikan data perdagangan China yang diperkirakan akan kembali turun.”
Dalam sebuah acara di Atlanta pada Senin (7/8) waktu setempat, Gubernur The Fed, Michelle Bowman, mengatakan bahwa kenaikan suku bunga tambahan mungkin akan diperlukan untuk menurunkan inflasi ke target sebesar 2.0%. Ia menyoroti pasar tenaga kerja yang masih ketat, dengan lowongan kerja yang masih jauh melebihi jumlah tenaga kerja yang tersedia.
Dalam data terbaru yang dirilis hari ini, ekspor China pada Juli 2023, seperti dikutip dari CNBC, dilaporkan turun 14,5% dibandingkan tahun sebelumnya, sedangkan impor turun 12,4% dalam nilai dolar AS. Angka tersebut lebih rendah daripada yang diperkirakan jajak pendapat Reuters yang memprediksi penurunan ekspor sebesar 12,5% dan impor diperkirakan turun 5%.
Dolar AS pun berbalik naik secara meyakinkan pada hari Selasa karena para pedagang berjuang untuk menguasai pandangan pertumbuhan yang berbeda antara dua ekonomi terbesar dunia, ketika serangkaian angka perdagangan China dilaporkan mengecewakan. Mata uang Paman Sam menguat 0,28 poin atau 0,28% ke level 102,310 pada pukul 11.15 WIB.
“Angka ekspor dan impor yang lebih lemah itu hanya menggarisbawahi permintaan eksternal dan domestik yang lemah dalam ekonomi China,” ulas ahli strategi mata uang di Commonwealth Bank of Australia, Carol Kong, dikutip dari Reuters. “Saya pikir pasar semakin tidak sensitif terhadap angka ekonomi China yang mengecewakan.”